Chapter 2

93 11 7
                                    

Dengan perasaan yang gembira, Ananta masuk ke dalam kamarnya sembari tersenyum-senyum. Melihat senyum lebar sang istri tentu saja membuat Bumantara bergidik ngeri. Matanya terus menatap tingkah Ananta yang bisa dikatakan sangat aneh. Bagaimana tidak, bantal yang tadinya dipegang oleh Bumantara tiba-tiba direbut oleh Ananta. Tidak sampai disitu, bantal tersebut langsung ia masukkan ke mulut dan menggigitnya dengan ekspresi gemas.

"Kamu ... sehat?" tanya Bumantara penuh ragu. Sontak saja, ia langsung mendapat tatapan tajam dari Ananta.

"Gak usah sok akrab sama saya," jawab Ananta dengan nada jutek. Jangan lupakan lirik mata sinisnya yang ia tunjukkan pada suaminya itu.

Kening Bumantara berkerut heran. "Bukankah kita memang sudah akrab? Saya sudah kenal kamu dari kecil lho. Bahkan waktu kamu disunat, saya datang ke acara itu."

Kedua pipi Ananta bersemu merah. Rasanya ia ingin mengambil lakban dan melakban mulut laki-laki itu agar bisa diam.

"Gak usah ngarang. Saya saja baru liat kamu sekali, itu pun waktu nenek meninggal setahun yang lalu."

"Seharusnya kamu mengucapkan terima kasih kepada saya," ujar Bumantara membuat Ananta kebingungan.

"Untuk apa?"

"Ya karna saya, kamu bisa diberi izin sama Bunda untuk berkuliah di Jakarta. Andai saja saya tidak berucap seperti tadi, sampai kapan pun kamu pasti tidak akan pernah mendapat izin."

Ananta yang posisinya duduk ditepian ranjang bersama dengan Bumantara, pun langsung bersedekap dada. "Tanpa bantuan dari kamu pun, saya pasti tetap dapat izin dari Bunda. Jadi, kamu gak usah sok jadi pahlawan deh. Lagi pula saya itu malas berbicara dengan laki-laki sepertimu."

"Kenapa? Apa saya ada salah?"

"Banyak."

"Salah satunya?"

"Kamu itu tua, cerewet, sok pinter, sok ganteng, trus gak mau ngalah. Saya gak suka sama orang yang kayak gitu."

Sebelah alis Bumantara tertarik ke atas. "Saya memang ditakdirkan untuk menjadi orang yang seperti ini, jadi itu bukan salah saya kan."

"Perihal ucapanmu tadi tentang saya yang tua, sepertinya itu salah. Umur saya sekarang 26 tahun, sedangkan kamu 18 tahun, kita hanya beda 8 tahun."

"Hanya kamu bilang? Umur kita itu sangat jauh beda. Kamu lebih pantas saya sebut Ayah ketimbang seorang daeng."

Bumantara sontak menyentil bibir istrinya yang secara terang-terangan sudah mengatainya tua. Sentilan itu hanya pelan, namun Ananta malah meringis kesakitan agar suaminya merasa bersalah.

"Edede, baru beberapa jam menikah KDRT maki? Penyayang bede' tapi nyatanya ndak deh," ucap Ananta sambil mengerucutkan bibirnya kesal.

Bumantara yang mendengar omelan sang istri pun hanya tersenyum tipis. Jujur saja ia lebih suka ketika melihat Ananta menampilkan wajah cemberutnya, sebab akan terlihat lebih cantik.

"Kita itu yang mulai. Makanya janganki sembarang bilang. Dengar ki nah, walaupun tua mi umurku tetapja terlihat ganteng toh?"

Ananta mengerjapkan matanya berkali-kali. Memang benar apa yang dikatakan Bumantara tadi, tetapi ia gengsi jika harus mengakuinya.

"Ingat ki ini, walaupun sudah maki menikah jangan ki terlalu berharap lebih sama saya. Kita berdua menikah karna dijodohkan ji, bukan karna saling suka."

Setelah mengucapkan itu, Ananta mengambil bantal guling lalu diletakkannya di tengah-tengah ranjang. "Ini sebagai batasannya. Jangan ki coba-coba langgar. Kalau sampai kita lewati ini batasan, saya tendang ki sampai jatuh di lantai."

ᨉᨕᨙ ᨈᨑ [ 𝐃𝐚𝐞𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐫𝐚 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang