VI : Sylph, Spirits of wind✔️

18 2 0
                                    

Setelah kejadian absurd yang dialami Atlas dan Matthias tadi, sekarang mereka berdua memilih kembali tenang setelah lelah tertawa karena wajah dan posisi Atlas yang aneh. Walau pun sulit untuk berhenti, Matthias tetap berusaha untuk menahan tawanya sembari mengobati Atlas yang sudah cukup mengenaskan. Ia mengambil beberapa obat yang sudah dibeli saat keluar beberapa hari lalu. Beruntung masih ada beberapa kain yang tersisa untuk menutup luka Atlas agar tidak terinfeksi debu.

"Aduh-duh. Itu sakit, master." Atlas refleks menjauhkan kepalanya saat rasa perih menjalar disekitar ubun-ubun-membuat Atlas terus meringis. Matthias yang sedang mengobati memang sengaja menekan sedikit luka Atlas agar bocah itu takkan lagi mengerjainya.

"Hanya benturan kecil, jangan berlebihan." Matthias membenahi peralatan yang ia gunakan, sedikit lama ia melamun sebab ia ragu untuk bertanya pasal Atlas yang tiba-tiba tak sadarkan diri setelah pelatihan yang diberikannya. Pada akhirnya, ia tetap mengambil keputusan untuk bertanya. Toh, jika Atlas memang tidak mau membahasnya, Atlas bisa meminta untuk tidak mempertanyakan persoalan itu.

"Atlas." Panggilnya lirih. Berkat suasana yang cukup tenang, suara Matthias tersampaikan dan hanya dijawab gumaman kecil oleh Atlas.

"Hm."

"Soal beberapa hari lalu." Matthias tampak ragu.

"Oh, yang aku tak sadarkan diri atau energi ku berbeda." Atlas langsung to the point.

Matthias yang menyadari reaksi Atlas yang biasa saja membuatnya menghela nafas lega. Dia melanjutkan pembicaraannya tanpa ragu.

"Pertama, apa yang terjadi padamu saat kau mencoba meminjam energi bumi?" Tanya Matthias. Ia sudah membereskan semua peralatan yang ada, jadi Matthias melangkah mendekati Atlas sembari menyeret kursi untuk di dudukinya. Sebelum mendaratkan pantatnya, Matthias kembali bertanya, "Apa yang membuatmu begitu fokus sampai-sampai kau terlihat seperti cangkang kosong?"

Dua pertanyaan terlontarkan begitu saja dari mulut Matthias. Sembari menunggu jawaban, ia kemudian duduk dengan posisi sandaran kursi di depan, melipat tangannya di atas sandaran lalu meletakkan dagu pada lipatan tangan. Berusaha terlihat santai agar Atlas bisa dengan akrab bercerita padanya.

"Hmm. coba aku pikirkan." Atlas berpikir, bola matanya menatap ke langit-langit ruangan kemudian berkedip beberapa kali. Mencoba mengingat-ngingat apa yang ia alami.

Matthias juga menunggu dengan sabar, kondisi yang di alami Atlas memang butuh kehati-hatian lebih mengingat ia belum memiliki pengalaman mengenai kasus ini.

"Aku ingat!" Atlas berseru mengacungkan jari telunjuknya. Ia kemudian menatap Matthias lagi. "Ingat saat kau menyuruhku untuk mencoba menyatu dengan alam. Ku pikir itu berhasil sebab aku bisa melihat dengan jelas apa yang aku rajut."

Tak puas.

Itu yang dirasakan Matthias saat mendengar penjelasan singkat Atlas. Bukan itu hal yang ingin dia dengar. Dia jadi ragu lagi untuk bertanya lebih lanjut.

Atlas yang menyadari air muka Matthias yang terlihat kecewa membuatnya bingung, apa ada yang salah? Pikirnya. Daripada hanya bertanya dalam pikirannya, Atlas memilih untuk buka suara, "Apa ada yang salah? Atau ada pertanyaan yang mengganggumu, master?"

"Aku ingin bertanya lebih lanjut, apakah itu tak masalah?" Matthias bertanya balik.

Sebagai respon, Atlas menggangguk.

Matthias bingung bagaimana ia harus bertanya, sebab pertanyaan pertama mungkin sulit dipahami bagi Atlas. Jadi dia mencoba bertanya lebih detail lagi. "Aku ingin mengulangi pertanyaan pertama, apa yang kau alami saat mencoba meminjam kekuatan bumi?"

𝙷𝚒𝚛𝚊𝚎𝚝𝚑 ; Book ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang