2

118 14 2
                                    

Chapter 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 2

Livia terkejut bahkan ia sedikit ketakutan saat melihat siapa yang sedang bersandar di pintu mobilnya.

Pria itu--Naoki!

Livia mengucek matanya berkali-kali, berharap ia masih tertidur dan hanya bermimpi melihat Naoki.

"Dengan siapa kau tidur di hotel ini tadi malam?" sapa Naoki dengan bahasa inggrisnya tatapan matanya menyiratkan kecemburuan dan kemarahan.

"Kapan kau datang?" tanya Livia setenang mungkin menyembunyikan keterkejutannya.

"Dengan siapa kau tidur tadi malam?" tanya Naoki lagi.

"Naoki, itu bukan urusanmu," jawab Livia tidak mampu menyembunyikan kegugupannya, seperti merasa bersalah pada Naoki.

"Aku akan kembali, minggirlah..." ucap Livia lirih, kepalanya menunduk tak mampu menatap wajah Naoki seolah-olah telah terpergok berselingkuh.

Naoki mengulurkan tangan meminta kunci mobil Livia, Livia dengan linglung justru menyodorkan benda yang diminta oleh Naoki.

Naoki membukakan pintu mobil untuk Livia, kemudian duduk di kursi kemudi melajukan mobil itu menuju alamat apartemen di mana Livia tinggal dengan cara terus mendesak Livia memberitahu alamatnya dan mencarinya alamat menggunakan map di ponselnya.

"Livia, kita telah sampai." Naoki menggoyangkan dengan pelan bahu Livia hingga Livia membuka matanya.

Batinnya mengumpat karena menyesal melarikan diri dari pria asing yang telah  tidur dengannya hingga berujung terpergok Naoki. Benar-benar sial!

Livia mengambil kartu akses masuk apartemen dan menempelkannya, kemudian mereka memasuki gedung itu menuju lift dan segera lift membawa mereka ke lantai tiga puluh lima di mana Livia tinggal.

Tak ada pembicaraan sedikit pun di antara mereka, bahkan sesampai di dalam tempat tinggal Livia mereka hanya duduk diam. Livia tidak tahu harus berkata apa kepada Naoki, tetapi setelah berpikir sejenak pria itu bukan kekasihnya jadi buat apa repot-repot menjelaskan pikir Livia.

"Pergilah bersamaku ke Tokyo," Naoki membuka suaranya saat itu.

Livia mengerjapkan mata idahnya mendengar apa yang di ucapkan Naoki. "Untuk apa?"

"Tinggal bersamaku di sana."

"Tidak, Naoki," tolak Livia cepat-cepat.

"Kau sangat liar tinggal di sini sendirian," suara Naoki terdengar begitu rendah.

"Ini hidupku, kau tidak berhak ikut campur," sama seperti suara Naoki, nada bicara Livia juga begitu rendah.

"Selama enam bulan kau anggap aku bukan siapa-siapamu?"

"Naoki? Apa kau jatuh cinta padaku?" Livia nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Aku sengaja tidak memberitahumu kalau aku datang ke Jakarta untuk merayakan ulang tahunmu malam ini," kata Naoki tanpa menjawab pertanyaan Livia.

Ulang tahun? Bahkan Livia melupakan hari ulang tahunnya sendiri setelah hidup sendiri jauh dari keluarga, tidak ada yang mengingatkan hingga ia melupakan hari spesialnya.

"Pergilah bersamaku ke Tokyo, aku akan menjagamu seumur hidupku," kata Naoki lagi.

"Aku masih bekerja di sini, aku mempunyai kontrak dengan perusahaan," kata Livia dan tentunya berbohong.

"Berapa tahun kontrakmu?" Naoki memandang Livia dengan tatapan tajam.

"Eh, itu... satu tahun lagi," jawab Livia tergagap dan menjawab secara acak.

"Aku akan membayar kompensasinya, tidak perlu menyelesaikan kontrak itu," kata Naoki dengan nada tegas.

Mendengar apa yang di ucapkan Naoki Livia segera membuka mulutnya. "Naoki, aku masih ingin bekerja, aku akan bosan jika menganggur," kata Livia dengan suara manja, ia tidak ingin kehilangan kebebasannya.

"Baiklah, aku akan melihat beberapa waktu, aku akan sering tinggal di sini," ucap Naoki dengan datar, pandangan matanya masih dengan tatapan terbakar cemburu, namun jelas pria itu berusaha bersikap tenang.

"Tetapi kau bukan siapa siapa-siapaku, aku tidak mungkin tinggal dengan orang asing."

"Sejak saat ini kau pacarku, apa itu tidak cukup?" Naoki mengangkat sebelah alisnya.

"P-pacar?"

"Ya, sebenarnya aku menganggap kau pacarku sejak pertama kita bertemu dan kau mengambil keperjakaanku. Kau adalah pacarku," jawab Naoki terdengar begitu santai.

"Pft..." Livia tertawa tertahan.

"Kenapa tertawa?" Naoki menatap Livia yang menertawakannya dengan tatapan tidak senang.

"Aku tidak percaya. Benarkah aku yang pertama mengambilnya?" Itu adalah pertama kali mereka berbicara terbuka, Naoki adalah pria yang cenderung dingin tidak terlalu banyak bicara sejak awal mereka saling mengenal.

"Kau boleh mengejekku sesuka hatimu, tetapi yang jelas mulai saat ini kau milikku, aku tidak mengizinkanmu lagi bermain-main dengan pria mana pun."

"Naoki, kau tidak bisa seperti itu mengambil keputusan sesuka hatimu," protesLivia

"Tidak ada penolakan, mulai sekarang kau harus patuh denganku, kau adalah pacarku." Tatapan Naoki begitu memaksa dan mengintimidasi.

Livia merasa sedikit gugup, seseorang mendeklarasikan diri sebagai pacarnya. "Dan kau akan jatuh miskin menghabiskan uang untuk membeli tiket pesawat," ucapnya dengan nada mengejek.

"Kekayaan orang tuaku cukup banyak, dan perusahaan yang kukelola menghasilkan uang milyaran dolar. Itu tidak akan habis hanya untuk beberapa tiket ke Indonesia," kata Naoki dengan nada sombong, "Jadi, bagaimana, Livia?"

"Apa kau memberiku pilihan? Jika iya aku lebih memilih menjadi teman kencanmu tanpa ikatan," jawab Livia dengan nada santai.

"Siapa bilang aku tidak memberimu pilihan? Kau gadis yang nakal," jawab Naoki sambil mendekati wajah Livia dan mencium lembut bibir Livia. "jadilah gadisku, jangan melawan dan jangan macam-macam, semua kebutuhanmu aku akan memenuhi, kau tak perlu bekerja lagi." Mata sipit Naoki menatap mata indah Livia dengan mesra.

Tiba-tiba ada perasaan nyaman yang menyelinap ke dalam hati Livia, semacam kekosongan di dalam hatinya yang selama ini ia biarkan merasakan sedikit kehangatan dari kata-kata pria di depanya.

"Baiklah Naoki, jika kau memaksaku, asalkan kau sanggup dengan segala tingkahku," jawab Livia dengan nada malas, namun di benaknya berpikir tidak ada salahnya mencoba sebuah hubungan. Bukankah dirinya belum pernah sama sekali berhubungan dalam ikatan cinta dengan siapa pun? Dengan kata lain Livia belum pernah berpacaran seumur hidupnya. Sejak saat itu hampir  setiap akhir pekan Naoki datang ke Jakarta dan tinggal bersamanya.

Naoki pria yang tampan, wajahnya menyiratkan kelembutan hatinya, kulitnya halus dan putih, hidungnya mancung, dan matanya tidak terlalu sipit jika di bandingkan warga asli Jepang, ia pendengar yang baik, bahkan kepada Naoki. Livia mulai bercerita banyak hal konyol, pria itu akan dengan setia mendengarkan semua yang keluar dari mulut Livia tanpa pernah menyalahkan Livia meskipun Livia salah.

Livia menyukai cara berbicara Naoki yang lembut dan cara Naoki memanjakannya seperti kakaknya, Danu yang memanjakannya.

Livia mulai merasa nyaman dengan kehadiran Naoki, Livia yang terbiasa hidup sendiri dengan bebas kini ia harus cepat-cepat pulang ke tempat tinggalnya karena Naoki akan memarahinya dan terus terusan menelefonnya jika ia tak bergegas pulang meskipun Naoki tidak ada di apartemennya, pria itu ada di negaranya namun pria itu membuat Livia takut untuk berbohong.

Livia mulai  terbiasa patuh kembali ke apartemennya tepat waktu, Naoki juga selalu memintanya mengirimkan bukti foto di mana ia berada, awalnya Livia hanya tidak ingin berdebat dan menggunakan watak keras kepalanya karena akan berujung dijemput paksa oleh orang-orang suruhan Naoki yang ada di Indonesia. Tetapi, lama-lama ia mulai terbiasa.

To Marry YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang