4: Adaptasi dan Anak Baru

4.2K 500 89
                                    

Di Kota Harapan, matahari baru terbit sempurna ketika jam menunjuk angka enam di pagi hari. Namun, Am sudah bersiap satu jam sebelumnya. Mamanya sampai heran.

“Bukannya kamu dapat sif jam tujuh, Nak?” Mama Am bertanya seraya mengoseng kangkung ketika melihat anaknya pergi ke jemuran. “Pagi-pagi banget?”

“Senior Am nyuruh dateng pagi, Ma. Mau orientasi biar cara masaknya sesuai standar Dapur Ajaib.” Gadis dengan potongan rambut french bob yang masih acak-acakan itu mengecek seragam yang ia jemur semalam. Masih agak basah. “Ma, cairan pengering kemarin disimpan di mana, ya? Seragam Am belum kering ini!”

“Di atas mesin cuci, coba?” seru Mama, sama sekali tak menoleh ke arah ruang jemur. Botol berisi cairan pengering itu sungguhan ada di sana, padahal tadi Am sudah mencari di daerah itu. Memang kekuatan ibu-ibu. Am mengambil botol semprotan bening dengan cairan berwarna merah hati itu dan menyemprotkannya ke seragam miliknya.

Mama Am berseru lagi. “Jangan banyak-banyak pakainya! Yang merk itu susah carinya!”

Am mengintip komposisi dari semprotan pengering itu. Sepuluh persen rasa mengamuk. Pantas langsung kering bajunya. Ia meletakkan kembali botol itu di tempat semula dan mengambil seragam dari gantungan. “Ma. Nggak mau beli cairan penghalus kain sekalian biar nggak usah setrika-setrika?”

“Duit siapa?” Mama membalas dengan nada gemas. “Kalau mau, sana beli sendiri kalau sudah gajian!”

Gadis itu menatap seragam di tangannya. Dia hanya punya satu set baju dan itu akan dipakai setiap hari. Sepertinya ia harus sungguhan mempertimbangkan investasi untuk membeli cairan pengering dan penghalus kain sekaligus setelah gaji pertamanya turun.

“Memangnya kamu masih kurang masaknya? Kok sampai harus orientasi segala?” tanya Mama saat Am melewati dapur.

“Kurang perasaan, Ma.”

“Bukannya sudah pakai bubuk perasaan?”

“Perasaannya Am, Ma.” Gadis itu jadi kusut lagi mukanya. “Katanya, masakan Am kurang tulus.”

Wanita berambut perak dengan perawakan mungil berisi itu mendecak. “Kamu sering dapat komentar gitu sejak sekolah, Nak. Mama nggak suka, deh. Padahal masakan anak Mama kan enak-enak aja!”

Kalau dilanjutkan, sepertinya omelan Mama akan semakin menjadi. Segala sesuatu yang dibilang kurang dari anaknya pasti membuat beliau jengkel. Am buru-buru masuk kamar sebelum mamanya bertanya lebih jauh. Suasana hatinya sudah buruk tanpa ocehan Mama yang tak henti-henti.

Sejujurnya, orangtua Am sangat suportif dengan cita-cita anaknya. Kalau kata papanya, seluruh dunia pun akan dilawan jika anaknya tersakiti. Orangtua Am adalah tipe manusia yang selalu menganggap anaknya yang terbaik dan tidak terima kalau ada yang salah dari anaknya.

Am sudah terbayang reaksi orangtuanya kalau percakapan tadi dilanjutkan dan Papa turut serta.

"Siapa yang bilang masakanmu masih kurang? Padahal kamu juru masak terbaik se-Kota Harapan!" Itu ujaran Papa. "Biar Papa datengin!"

Gadis itu teringat ketika ada nilai mata pelajarannya yang jatuh di masa sekolah. Orangtuanya langsung datang dan minta klarifikasi pada gurunya, membuat gempar satu sekolah. Sungguh bukan kenangan yang indah untuk diingat. Am memejamkan mata dan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh keceplosan mengeluh di depan orangtuanya kalau tak ingin kejadian itu terulang.

[END] Dapur Ajaib dan Kisah-kisah di DalamnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang