Setelah sebelas tahun kemudian...
"Karenza! Kamu lagi...! Kamu lagi...! Kamu ngga capek apa bikin masalah terus?! Mau jadi apa sih kamu sebenarnya, hah?! Memangnya kamu ngga punya cita-cita atau apa pun apa sampai-sampai setiap minggu selalu menjadi langganan ruangan ini?!" Pak Heri selaku Guru BK di sekolah Karenza langsung geleng-geleng kepala ketika melihat Karenza lagi-lagi berada di dalam ruangannya tersebut.
Kini dia telah tumbuh menjadi anak remaja. Dan dua bulan lagi, dia akan berusia tujuh belas tahun. Usia di mana darah sedang panas-panasnya, dan jiwa sedang liar-liarnya.
"Kalau aku ngga datang ke sini minimal sekali seminggu, aku takut Bapak akan ngerasa kesepian, Pak," jawab Karenza dengan asal.
Senyumnya merekah lebar menatap Pak Heri saat mengatakannya sehingga membuat Pak Heri langsung menghela nafas karena merasa lelah menghadapi Karenza yang sejak kelas satu selalu menjadi langganan ruang BK dan responnya setiap kali di tanya selalu seperti itu.
Tidak pernah menganggap serius semuanya.
"Karenza..., ayolah. Bapak bosan melihat kamu setiap minggu ada di sini dengan segudang kasus! Kamu benar-benar ngga ada niatan untuk menjadi siswi pada umumnya apa? Yang sibuk berdandan untuk mengambil hati para siswa laki-laki dan menjaga image agar menjadi idola sekolah? Kamu itu cantik loh, Za. Bapak yakin kalau kamu mengubah image kamu, berhenti berpenampilan urakan, berhenti ikut tawuran, berhenti berkelahi dan mencari masalah dengan siswa laki-laki di sekolah lain, dan berhenti menjadi anak nakal, kamu akan punya banyak teman perempuan dan hidup kamu akan menjadi jauh lebih berwarna," ujar beliau, mencoba membujuk Karenza untuk yang kesekian kalinya.
"Bahkan bukan cuma itu aja lho, Za. Masa depan kamu juga akan menjadi cerah. Ya, seenggaknya akan lebih cerah dari masa depan yang akan kamu dapatkan jika terus seperti ini, Za. Jadi mau ya berubah pelan-pelan dan berhenti menjadi anak nakal, Za..."
Berbeda dengan guru BK atau BP pada umumnya, Pak Heri bukan lah tipikal guru killer berwajah sangar dan bersuara lantang.
Beliau berparas tampan, murah senyum, dan selalu berbicara dengan para siswa dengan nada yang terdengar santai.
Tidak ada sedikitpun kesan menyeramkan dari beliau.
"Kalau Bapak ngerasa bosan ngeliat muka aku, Bapak bisa berhenti manggil aku ke sini dan bikin aku jadi salah paham, Pak," jawab Karenza kemudian menghela nafas dan merubah posisi duduknya.
Kakinya dia selonjorkan dan tangannya dia masukkan ke dalam saku jaketnya.
"Aku kecewa, Pak...!" sambungnya.
"Kok kecewa?" Pak Heri yang merasa tidak mengerti dengan maksud perkataan Karenza tersebut langsung mengernyitkan kening.
"Ya karena Bapak bikin aku jadi salah paham, Pak. Bapak tahu kan kalau aku itu sangat mencintai Bapak? Setiap minggu aku bahkan selalu jengukin Bapak ke ruangan ini dan bahkan kadang aku bisa datang tiga kali dalam seminggu. Bapak tahu kenapa? Karena aku kira Bapak juga jatuh cinta sama aku, Pak. Aku kira alasan Bapak manggil aku ke sini itu karena Bapak kangen sama aku dan sangat ingin berduaan sama aku di ruangan yang tertutup," terang Karenza. Nada bicaranya terdengar sangat serius.
"Tapi sekarang semuanya udah jelas dan itu bikin hati aku sangat terluka, Pak. Sangat-sangat terluka! Bapak ternyata ngga cinta sama aku dan bahkan Bapak juga bilang kalau Bapak bosan melihat muka aku!" sambungnya.
Perlahan, ekspresi wajahnya mulai berubah dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Ini benar-benar menyedihkan, Pak! Hati dan mental aku benar-benar terpukul dengan fakta yang menyakitkan ini! Bapak jahat, Pak! Apa yang Bapak lakuin ke aku ini benar-benar jahat!" lanjutnya dengan mendramatisir.
Kemudian setelah itu, dia pun langsung bangkit dari duduknya dan berlari kecil ke arah pintu dengan tampilan seorang gadis yang patah hati dan juga tersakiti.
"Kamu benar-benar ngga akan diampuni lagi kalau kamu keluar dari pintu itu sekarang, Za!"
Setelah tangannya telah mencapai gagang pintu, suara Pak Heri langsung tiba-tiba menginterupsi.
Beliau terlihat kembali menghela nafasnya sambil terus menatap malas ke arah Karenza.
"Tapi kan aku lagi patah hati, Pak!" Karenza langsung berbalik dan memprotes.
"Za..., gimana kalau kamu Bapak kenalin aja ke teman Bapak yang kebetulan seorang pencari bakat dan punya agensi Artis? Kamu keliatan lebih cocok dan lebih enjoy soalnya di dunia seni peran daripada di dunia pendidikan," sahut Pak Heri dengan nada yang malas pula. Seperti tatapannya.
Beliau sudah benar-benar merasa lelah menghadapi Karenza yang selalu ada saja tingkah dan dramanya setiap kali dipanggil ke ruang BK.
Mendengar usul beliau tersebut, ekspresi Karenza seketika langsung berubah datar dan juga serius. Bahkan, matanya yang tadi berkaca-kaca dan penuh oleh air mata yang menggenang pun kini telah kembali normal seperti biasa.
"Maaf, Pak! Aku akan kembali duduk," jawabnya.
Sikapnya seratus delapan puluh derajat berubah drastis menjadi anak yang terlihat penurut.
Karenza selalu seperti ini setiap kali masuk ke ruang BK. Membuat ulah dan tidak pernah menganggap serius semuanya.
Dia suka menciptakan drama dan dia sangat bagus di dalam bidang tersebut.
Air matanya mudah keluar dan dia mudah menjiwai sebuah peran yang ingin dia mainkan. Dan itu semua...
Hanya dia tunjukkan di depan satu orang. Yaitu Pak Heri.
Pak Heri terdiam sejenak sambil terus menatap ke arah Karenza.
"Bisa kita mulai sekarang, Za?" tanya beliau setelah beberapa menit berlalu.
Karenza menggeleng. "Belum, Pak."
"Kenapa? Apa lagi yang mau kamu tunjukkan?"
"Bukan pertunjukan, Pak. Tapi jawaban atas pertanyaan dan masukan yang Bapak kasih tau tadi," jawabnya.
Wajahnya tetap setia dengan ekspresi datar.
"Yaudah. Bapak kasih kamu waktu lima belas menit untuk menjelaskan. Lebih dari itu kita stop pembahasan tentang hal tersebut dan masuk ke dalam pembicaraan utama. Gimana? Deal?"
Tidak seperti guru BK atau BP pada umumnya, Pak Heri selalu mendengarkan dengan baik seluruh siswa yang dianggap bermasalah dan selalu berusaha menciptakan suasana yang terasa nyaman untuk mengobrol.
Tidak ada bentakan yang tegas, tidak ada aura mengintimidasi, dan selalu mencoba untuk berbicara dari hati ke hati.
"Deal." Karenza langsung menjawab.
Setelah itu, dia langsung menarik nafas dengan panjang untuk menjawab omelan Pak Heri tadi.
"Jadi gini, Pak. Aku sudah merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Sangat-sangat bahagia, Pak. Jadi tolong berhenti menggurui aku tentang hal-hal apa aja yang harus aku lakuin," jawabnya.
Dia yang tadinya memasang ekspresi datar tiba-tiba sedikit tersenyum sinis ke arah beliau setelah mengatakan hal tersebut.
"Mengubah penampilan? Mengubah sikap? Berdandan agar para anak cowok suka sama aku? Berusaha menjadi idola sekolah? Berhenti tawuran? Berhenti menjadi anak nakal agar mendapat teman-teman perempuan dan memiliki kehidupan yang lebih baik di masa depan?"
"Hahaha!" Karenza tertawa sinis.
"Jangan ngelucu, Pak. Kenapa juga aku harus melakukan itu semua disaat aku udah ngerasa sangat bahagia dengan kehidupan yang aku miliki saat ini?" sambungnya.
Kini, bukan hanya tawa dan senyumannya yang terlihat sinis melainkan tatapannya kepada beliau pun juga sama.
Karenza remaja benar-benar sedikit sakit jiwa. Dia terlihat tidak stabil dan suka bersikap semaunya.
Bahkan, dia pun sangat hebat dalam memanipulasi ekspresi dan juga emosi yang dia miliki sehingga tidak ada seorang pun yang mampu melihat perasaan aslinya.
Karenza yang pendiam dan tanpa ekspresi, kini telah tumbuh menjadi gadis yang sangat-sangat berbeda dengan masa kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 DAYS TO FALLING IN LOVE WITH ME
Teen FictionKaren adalah seorang gadis brandalan yang broken home. Dia ditinggalkan oleh ibunya dan juga tidak diinginkan oleh ayahnya. Hidupnya urakan dan suka berbuat semaunya. Pada suatu hari, dia tiba-tiba memaksa gebetan adik tirinya untuk menjadi pacarnya...