Tiga

23 3 4
                                    

Aku menoleh ke kiri-kanan, tapi beruntung tak melihat Johnny menyusul. Aku segera melepas tangan Derby dan berjalan beberapa langkah hingga tiba di deretan loker. Kupikir anak itu akan meninggalkanku, tapi dia malah menyandari loker di sebelahku dan bersedekap sembari menatapku lurus.

"Jadi ... Johnny Vincent, huh?" Tanya Derby.

Aku memutar bola mata dan ikut bersandar di sebelahnya. "Maksudku, dia tampan." Lalu aku tertawa canggung. "... Bercanda."

"Tapi kenapa menghindar begitu?"

"Kau tahu, setelah kejadian Lola, aku jadi tak begitu ingin menemuinya."

Derby menyeringai dan menyikutku. "Terlalu takut, huh? Payah."

"Bukan begitu, bodoh." Gerutuku. "Aku tak berniat untuk terlibat masalah apa pun di sekolah ini." Aku mengernyit memikirkan betapa mengerikannya Bullworth. "Terutama di sekolah ini."

"Kusarankan kau sebaiknya menyerah saja, Joe." Derby tertawa getir. "Karena anak itu takkan menyerah dari Lola, tak peduli seberapa sering dirinya dipermainkan."

Jujur, banyak pertanyaan yang mengganggu benakku setelah Derby bilang begitu-- Apa yang membuatnya begitu? Apa dia baik-baik saja? Seberapa penting Lola baginya? Dan, kenapa aku jadi mengurusinya?

"Aku tidak mengenalnya, Derby." Hanya itu yang bisa kukatakan. "Kita bertemu secara kebetulan di kamarku. Itu saja."

"Yeah, dan saranku jangan coba untuk mengenalnya lebih jauh lagi." Kali ini nadanya serius. "Dia bajingan."

Aku tak begitu mengenal Derby, tapi, "Kadang-kadang kau juga."

Derby tertawa kesal. "Ha, itu lucu sekali."

Aku tidak suka sifat Derby yang sombong dan gampang menilai orang seenaknya. Tapi terlepas dari itu semua, Derby juga punya kepribadian yang sopan meski hanya ke orang-orang tertentu. Ah, dia pasti orang yang menyenangkan kalau saja sikapnya baik terus-terusan.

Aku tersentak dari lamunan saat bel berbunyi. Derby menawarkan diri mengantarku ke loker untuk menukar buku dan pergi ke kelas bersama-sama sejak mengetahui bahwa kelas kedua kami bersebelahan. Aku tidak tahu kenapa Derby peduli, dan itu membuatku kebingungan karena baru sehari yang lalu dia bertingkah sebagai bocah sombong yang menyebalkan-- Bukan berarti dia nggak lagi menyebalkan. Setidaknya, aku tahu dia juga punya kelebihan sekarang.

***

Aku melangkah keluar dari kelas Seni bersamaan hujan tumpah dari langit. Meski sudah mendengar rumor tentang makanan Edna, aku yang kelaparan secara terpaksa jadi pergi ke Kafetaria. Dia menyediakan roti lapis sebagai menu utama hari ini, jadi kupikir semestinya bukan masalah sejak itu hanya setumpuk roti dan daging ham.

Saat sedang melahap santapanku, Johnny dan temannya tiba-tiba saja datang dari balik punggungku dan meletakkan nampan mereka di sebelahku.

"Kuharap kau tak keberatan kalau kami bergabung." Sapa Johnny.

Aku mengedikkan bahu. "Hai. Tentu."

Tak seorang pun bicara selama beberapa menit, dan selama itu, aku menunggu salah satu dari mereka untuk membuka pembicaraan sembari terus makan.

"Jadi apa kau akan bergabung ke tim pemandu sorak tahun ini? Katanya mereka akan mengadakan seleksi besok lusa." Tanya teman Johnny yang duduk di kiriku. Dia agak menonjol kalau dibandinkan dengan Greasers lainnya, itu karena jaket kulit yang dia pakai berwarna cokelat sendiri. "Namaku Peanut. Peanut Romano."

Welcome To Bullworth AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang