Empat

22 4 2
                                    

"Hai, Joe." Seseorang menyapaku seraya menarik kursi di sebelahku.

Aku yang mengantuk akibat telat tidur semalam, tetap mengubur kepalaku di lengan yang kulipat di atas meja. Jujur saja, aku biasanya takkan suka jika seseorang mengajakku keluar sampai terlalu larut, tapi yang semalam itu benar-benar menyenangkan.

"Kudengar kau kencan dengan Derby Harrington, apa itu benar?"

Aku mengangkat wajah, melihat Peanut Romano, teman Johnny yang kemarin, menatapku seolah aku sudah gila. Aku tertawa, melakukan satu-satunya cara yang kutahu untuk menghadapi suasana canggung.

"Kau bilang apa?" Tanyaku, memelotot.

"Kau dan Derby Harrington," Bisiknya, mendekatkan kepala ke kupingku. "Semua orang mulai menyebarkan rumor tentang kalian sejak pagi."

"Hubunganku dan Derby tidak seperti itu, kau tahu?" Jawabku dengan nada resah.

"Katanya semalam kalian terlihat bersama di pantai."

Itu tak salah, tapi, "Itu bukan kencan."

"Ya sudah kalau begitu," Peanut mengangguk dan bangun dari kursinya. Dia menatapku dengan perasaan bersalah, lalu menepuk bahuku. "Sebenarnya aku cuma mau memastikan karena Johnny mengkhawatirkanmu, tapi ... Ini hanya rumor, kau tahu? Kau akan baik-baik saja."

"Yeah. Kuharap." Berpikir sekolah ini dipenuhi kegilaan, aku hanya berharap semoga aku benar akan baik-baik saja di sini.

"Hey, setidaknya kau takkan disiram sampah lagi." Peanut mengedipkan sebelah matanya sambil tertawa usil. "Tapi kalau ada sesuatu, jangan sungkan untuk datangi kami di bengkel, Joe."

"Sure. Terima kasih, Peanut."

Peanut memberiku anggukan singkat sebelum akhirnya beranjak kembali ke tempat duduknya yang berada di barisan belakang di samping Johnny. Ya. Johnny Vincent. Dia. Ada. Di sini.

Aku tak yakin apa yang dipikirkan Johnny. Kupikir dia jadi tak menyukaiku setelah apa yang kukatakan pada Lola kemarin, tapi apa Peanut baru saja bilang kalau dia mengkhawatirkanku?!

Kulihat Peanut berbisik pada Johnny begitu sampai ke kursinya, dan anak itu lagi-lagi melakukannya, memandangku dengan tatapan serius yang membuatku tak mampu bereaksi. Apa itu artinya? Aku tak tahu. Rasanya seolah Johnny sedang memakuku dengan tatapannya selagi ia berpikir sambil membisu dengan muka datar.

"Hai, Joe!" Jerit Pinky yang baru saja tiba, membanting buku bawaannya ke atas meja di sebelahku, menarik perhatian seisi kelas.

"Hey, Pinky." Balasku, ramah.

Suasana mendadak sunyi. Jelas ini jenis kesunyian yang hanya terjadi saat semua orang dalam ruangan terfokus pada satu hal. Aku sudah setengah bangkit dengan keinginan untuk menjabat tangan Pinky, tapi kulihat gadis itu tiba-tiba jadi diam dan menatap lantai. Pipinya pucat, mulutnya dirapatkan hingga menjadi garis tipis. Di belakang, kulihat Johnny sudah berdiri sambil menatap Pinky lurus-lurus.

Keheningan dalam ruangan meledak menjadi sorak-sorai selagi seorang anak cewek pemandu sorak berkata, "Gila, anak baru itu. Nggak tahu diri sekali!"

Jantungku berpacu liar, tapi sebelum aku sempat bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, Johnny membanting tangannya ke papan lukisan yang berada di dinding belakang kelas.

"Semuanya harus tenang di dalam sini, atau perlu aku panggilkan guru?" Gertaknya.

Volume keriuhan menurun dalam sekejap, tapi itu ternyata malah memudahkan semua orang untuk mendengar ucapan terakhir sang pemandu sorak saat dia bangun dari kursinya.

Welcome To Bullworth AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang