3. Kemungkinan Yang Tidak Memungkinkan

4 0 0
                                    

Pandangan ku kosong namun pikiran ini terus berputar mengulang adegan demi adegan yang baru saja aku jalani. Akhirnya aku bertemu dengan Iqbaal, dia manusia yang sangat hangat. Siang tadi ia meyambut ku dengan senyuman lebar dibalik meja kasir nya. "Caramel Machiatto." ucap ku ramah.

"Siap!" Jawabnya dengan pose hormat. Aku menaruh ATM ku di atas meja untuk membayar pesanan ku. "Gak usah, hari ini gue yang traktir." Wajah ku kikuk seketika, aku bingung harus menanggapinya bagaimana.

"Urusan bisnis beda lagi kali." Aku mendorong atm ku ke arah nya. Rasa nya aneh ketika harus di traktir oleh orang yang baru saja aku kenal. Pria itu menggelengkan kepala nya seraya meninggalkan ku menuju mesin Coffee Press. Aku tidak tahu nama asli mesin nya, ku harap tebakan ku benar.

"Normal atau less sugar?" Tanya nya dengan senyuman hangat.

"Less." Tangan ku mengambil ATM ku kembali sementara alis pria itu terangkat sebelah sejenak seolah menilai jawaban ku. "Lagi diet, defisit kalori sama gula." Lanjutku mengongirmasi penilaian nya. Pria itu mengangguk mengerti.

"Cari tempat duduk dulu aja, nanti gue bawain kopi nya." Aku pun menuruti ucapan pria itu. Menurut ku sudut cafe menjadi tempat terbaik untuk duduk, di posisi tersebut kita bisa dengan leluasa menatap seluruh kegiatan di dalam cafe dengan jelas. Tring! Lonceng berbunyi pertanda ada yang datang. Dapat ku lihat sepasang kekasih berjalan masuk sambil berangkulan. Nafas ku berat seketika, rasanya lelah akhir-akhir ini. "Hei!" Iqbaal menaruh gelas kopi ku di atas meja. Bukan hanya itu, ada sepotong kue juga yang ditaruh nya. "Mille Crepes, menu baru juga. Katanya lagi hits... rasa macha. Cobain!" Jelas nya setelah menyadari tatapan ku yang tertuju pada makanan dan minuman yang dibawa nya.

"Kalau kaya gini ceritanya, berarti gak jadi defisit kalori dan gula." Ucap ku antusias. Pria itu tersenyum seraya duduk dihadapan ku. "Gak apa-apa kalau kerjaan ditinggal dulu?" Tanya ku basa-basi.

"Santai. Temen-temen gue paham." Jawabnya diakhiri senyuman. "Gak nyangka, bisa ketemu lagi selang sehari." Celetuknya mencairkan suasana. Aku menanggapinya dengan senyuman tipis sementara dia menusukan sedotan ke gelas kopi ku.

"Act of service nya bagus juga." Komentar ku. Jujur, ini kali pertama aku menemukan pria seperti dia. Aku pun jadi sadar bahwa selama ini selalu aku yang berjuang memaklumi setiap sikap yang diberikan pria yang sedang membersamai ku.

"Kalau lo, love language nya apa?" Tanya dia antusias. Bola mata ku berputar menatap atas sambil berpikir keras.

"Hmm... kaya nya tergantung partner nya. Biasanya gue nyesuaiin aja sih, kalau dia suka muji gue puji balik, kalau dia suka ngasih hadiah ya gue kasih hadiah balik, kalau gak nyeimbangin... takut dikatain no effort. Hubungan kan dua arah." Jawab ku panjang kali lebar.

"Effort ya? Tapi jadinya cape gak sih kalau harus sesempurna itu? Kalau gue sih males, mending apa ada nya aja. Toh gak ada yang sempurna di dunia ini." Alis ku bertautan mendengarkan pendapatnya. Mendengar kata malas yang diucapkan nya membuat aku berpendapat bahwa ia bukanlah seseorang yang akan berusaha mengerti pasangannya.

"Loh terus, kalau misalnya lo cuma punya dua love language katakanlah act of service sama receiving gifts. Tapi ternyata pasangan lo butuh disemangatin pakai kata-kata alias words of affirmation, lo bakal ngasih kata-kata apa engga?" Tanya ku penasaran.

"Kaya gombal gitu gak sih kalau ngasih kata-kata? Daripada gombal lucu pake kata-kata kaya gitu, gue lebih milih ngasih bukti aja kalau gue sayang sama dia." Jawab nya yang dapat ku nilai diluar konteks.

"Ya kan nurutin ngasih kata-kata penyemangat aja bisa jadi bukti." Gumam ku mulai mengeras.

"Gak mau lah." Tolaknya singkat.

Sangkara DjiwaWhere stories live. Discover now