01. Jemuran.

10 6 5
                                    

Hari sudah sore, aku memandang ke arah jendela dengan posisi tubuhku yang masih terlentang. Aku menguap sebentar, lalu mengucek kedua mataku yang sedikit berair ini. Aku menggeliat guna melancarkan peredaran darah dan meregangkan otot-otot di tubuhku, ah enak sekali. Jarang-jarang aku tidur siang sampai sore seperti ini, biasalah jadwalku sangat padat mulai dari menonton film, drama, sinetron, dan acara olahraga.

Jujur saja aku sangat suka menonton, tontonan apapun asalkan bukan film biru akan ku tonton. Bahkan, film azab sekalipun yang menurut segelintir orang sedikit tidak masuk akal itu, akan ku tonton hingga selesai. Walaupun setiap kali selesai menonton, aku merasa pendapat segelintir orang itu memang tidak ada salahnya juga. Tapi kalau kata bapakku 'ambil hikmahnya saja!', ya.. baiklah walaupun sedikit sulit aku akan berusaha.

Bapak selalu mendukung setiap hal yang kusuka, lain lagi dengan Ibu. Setiap hal yang kusuka dianggapnya tidak berguna, selalu saja begitu. Tak jarang ibuku marah dan mengomel karena aku terlalu sering menonton. Tapi mau bagaimana lagi, ini hobby-ku meski banyak terpaan cacian, hujatan serta makian yang terlontar dari mulut ibuku. Percayalah aku tidak peduli, akan ku pertahankan hobby-ku yang satu ini.

Aku membuka pintu kamarku, berjalan keluar lalu menutupnya kemudian. Mataku yang baru saja tersadar bergerak melihat keadaan sekitar, tidak ada siapa-siapa. Aku berjalan ke arah dapur, hanya ada Daru yang sedang memasak mie. Aku tidak melihat keberadaan ibuku di rumah ini, bahkan suara-suaranya saja tidak terdengar sedikit pun. Tumben sekali.

"Dimana Ibu?" tanyaku pada Daru, dia hanya mengangkat kedua bahu untuk menyatakan ketidaktahuannya.

Mataku yang setajam silet ini tertuju pada pintu kamar mandi yang sedang tertutup. Itu dia! Aku berjalan dan mengetuk pintu, siapa tahu Ibu memang ada di dalam sana?

"Buu..?" panggilku.

"Itu Da¹ Bali, dia sedang mandi." sahut adikku yang berjalan masuk ke ruang tengah dengan mie ditangannya.

Indra penciumanku tergugah ketika menghirup aroma mie yang dimasak oleh Daru. Ah, aroma mie yang baru saja matang selalu membuatku jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya, hingga membuat lambungku keroncongan. Aku berjalan mendekati Daru, lalu duduk disampingnya. Dia paham dengan apa yang aku mau, perlahan tangannya menggeser mangkok yang berisi mie kuah itu ke arahku.

Adik kecilku ini memang mirip dengan Bapak, dia peka dan juga baik  padaku. Tidak seperti Ibu dan Da Bali yang selalu saja ceweret dan perhitungan. Kalau kakakku yang pertama, Da Jiwung yang kerap kali dipanggil Iwung oleh Ibu, Bapak dan kawan-kawanya itu, dia tidak seperti Bapak ataupun Ibu. Maksudku dia mirip seperti Bapak dan Ibu, akan tetapi dia telah memiliki karakternya sendiri.

Udaku yang pertama memang tidak terlalu banyak bicara, tapi dia pintar dan juga baik tak jarang dia memberiku uang jajan. Di tahun ini kalau tidak salah dia berusia 25 tahun, berarti 3 tahun yang lalu tepat di umurnya yang ke 22 dia telah menyelesaikan pendidikan S1. Itupun karena dia mendapatkan beasiswa, kalau tidak Ibu dan Bapak pasti tidak sanggup membiayainya, secara biaya kuliah di jaman sekarang tidak semurah harga kerupuk. Untung saja Uda adalah anak yang pandai dan rajin belajar, jadi dia bisa mewujudkan impiannya dan tidak terlalu membebani Bapak dan Ibu.

Semenjak mendapatkan gelar S.Pd  Uda langsung bekerja sebagai guru di salah satu sekolah menengah pertama yang ada di Medan. Kenapa di Medan? Karena aku dan keluargaku memang tinggal disini. Ibuku memang orang Minang tetapi, aku hidup dan tumbuh di Medan sejak aku kecil sama seperti adikku. Ibuku pernah bercerita saat Ibu mengandung aku, kami sekeluarga pindah ke Medan. Entah apa alasan sebenarnya, karena saat aku menanyakan 'kenapa kita pindah?' ibu dan bapakku selalu saja kompak menjawab 'karena ingin pindah'.

Memang tidak salah, tapi maksudku itu.. ah sudahlah. Mau seribu kali aku bertanya jawaban Bapak dan Ibu pasti akan tetap sama.

"OPESSS..!!"

Itu suara Ibu, aku menengok ke arah belakang, ke arah pintu yang terbuka. Ternyata Ibu sedang berada di rumah tetangga.

"APA BU?!" sahutku, sedikit berteriak karena jarak kami yang sedikit agak jauh.

"KEMARI NAK, SINI!" titah ibuku.

Aku bangkit dari duduk, lalu aku memandang ke arah mie yang baru aku makan sesendok itu. Aku berjalan perlahan dengan perasaan dilema, antara harus ikhlas saja atau mencoba satu sendok lagi. Daru memakan mienya dengan lahap dan nikmat, sungguh satu sendok itu tidak cukup bagiku.

"OPESS, CEPATLAH LAMA KALI KAU!!" teriak ibuku yang tak sabaran itu.

"IYAA BU, SABARR!" sahutku. Aku beralih memandang ke arah adikku, "Sisakan lah sedikit, Dek. Uni² masih mau." pintaku, dengan segera aku memakai sandal dan menghampiri Ibu.

"Ada apa, Bu?"

"Tolong angkat jemuranku, Pes! Sudah mendung begini, takutnya hujan."

"Ya Tuhan, kenapa tidak bilang dari tadi, Bu?  Jadi aku kan tidak perlu kemari." rengekku.

"Ah sudahlah, jangan banyak bicara cepat angkat jemuran!" bentaknya.

Aku mengangkat jemuran sambil menggerutu, aku sedikit kesal dengan tingkah Ibu. Tapi, mau bagaimana lagi ibuku tetaplah ibuku.

***

Note:
Da / Uda : panggilan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Minang
Uni : panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Minang

Please give me support, thanks.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TOPLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang