Bab 3: Malaikat Pelindung

61 32 5
                                    

Tyo atau yang dipanggil oleh Saphire langsung mematung. Syok berat. Bagaimana tidak? Baru saja bertemu, dianya langsung, "Jadilah pacarku!"

"Hah? Kenapa?"

"Simpel saja. Kalau kau menjadi pacarku, aku pasti akan melindungimu dari para perundung-perundung itu. Aku akan menjanjikan hal itu untukmu. Kalau kau menjadi pacarku, aku akan selalu melindungimu dari para pembully itu. Kalau mereka membullymu lagi, aku bisa mengancam mereka kok..."

"B-bagaimana?" tanya Saphire. Ruby dengan santai menggunakan jari telunjuknya keatas. Ada CCTV disini? Tapi sejak kapan?

"Meretas CCTV sekolah bukan perihal yang susah. Aku punya kenalan yang bisa diandalkan. Lagian, kau hanya harus mengiyakan saja, kan? Jadi bagaimana? Apa kau mau menjadi pacarku?" tanya Ruby sekali lagi.

Apa yang harus Saphire lakukan? Apa ia harus mengiyakan permintaan untuk menjadi pacar gadis aneh ini? Tapi kenapa ia harus melakukan itu? Bukankah berpacaran itu harusnya untuk dua orang yang saling mencintai?

Kalaupun ia dan Ruby berpacaran, setelah itu apa yang terjadi? Dan juga, memangnya orang pacaran itu ngapain aja? Mereka tidak melakukan hal-hal yang aneh bukan?

"Tidak, berpacaran itu tidak seaneh yang kau bayangkan kok. Berpacaran itu seperti mempunyai seorang teman. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Mereka saling melindungi satu sama lain. Mereka juga saling berbagi satu sama lain. Jadi, bukan tawaran yang buruk kan? Aku akan menjadi pelindungmu dari orang-orang yang menyakitimu. Lagipula... apa kau mau dibully setiap hari oleh mereka berlima?" Ruby tersenyum miring melihat kaki Saphire yang gemetaran.

"B-baiklah... Gue mau..."

"Eh beneran?" Saphire mengangguk. Ruby kemudian mengepalkan tangannya dengan semangat. "Yes. Akhirnya aku bisa berpacaran dengan Saphire!"

"Aku biasa dipanggil Tyo btw."

"Eh. Kalau begitu, aku akan tetap memanggilmu Saphire. Semacam panggilan kesayangan gitu. Tapi ingat satu hal, hanya aku yang boleh memanggilmu Saphire. Kalau kau melanggar, aku akan menghukummu loh."

"B-baik!"

"Coba mulai sekarang panggil aku pakai 'aku kamu' deh."

"Baiklah, akan a-aku usahakan, Ruby..."

××××××

Kelas A kini tengah ramai walau tak seramai kelas D. Pelajaran Bahasa saat ini kosong. Guru Bahasa sebetulnya memberikan tugas pada Kelas A sih. Tapi, kebanyakan murid atau hampir keseluruhannya bahkan belum membuka buku sama sekali. Namun, Saphire selalu mengerjakan semuanya dengan segera. Ia tak suka menunda-nunda waktu.

"Karena waktu adalah emas." Begitulah prinsipnya.

Semua soal ada 10 dan tentu saja berisi teks-teks panjang. Ya meski begitu, Saphire bisa mengerjakan soal itu dengan mudah dan cepat. Cowok itu mengerjakan semua soal itu dalam waktu 15 menit. Triknya simpel sih. Ia terlebih dahulu membaca soalnya sebelum teksnya sehingga ia hanya perlu membaca sekilas untuk mencari jawabannya.

Setelah selesai mengerjakan semua soal itu, ia langsung ingin pergi ke koperasi untuk membeli makanan ringan untuk dimakan. Mungkin kripik atau semacamnya.

"Eh, Tyo. Tugas lo dah selesai? Gue boleh lihat nggak?" Saphire mengiyakan. Tanpa menoleh pun, Saphire tahu siapa yang meminjam bukunya. Pasti Argo. Argo memang tak pernah menolong Saphire ketika dirinya dibully, tapi Argo adalah satu-satunya orang yang sering mengajaknya berbicara.

Setidaknya Saphire harus bersyukur memiliki teman yang mau baik padanya meski hanya satu.

Tak lama kemudian, Viera, siswa yang juga sekelas dengannya mendekati Saphire dengan takut. Badannya gemetar. Tangannya tak bisa diam, terus bergerak seperti tengah memilin sesuatu. Bibirnya bak ingin mengeluarkan suara tapi sulit. "T-Tyo, Geng Panca Darma udah nunggu... lo di kantin."

Ruby and Saphire (Rewrite) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang