1. Pengakuan yang Berantakan

169 18 7
                                    

▶ Here With Me - D4vd

-----------------------------------------------

Seorang wanita cantik tersenyum di depan ibuku, tangan rampingnya bergerak menyentuh puncak kepala bocah di belakangnya.

"Ini putraku, Atila."

Aku dan Atila, kami kenal dari kecil. Kesan pertamaku untuk Atila sangat bagus, seorang bocah yang bersembunyi di belakang tubuh ibunya. Mata kecil itu mengintip, menggemaskan, tatapan yang tampak dingin namun penasaran.

Bibit unggul sudah tampak walau umur Atila masih 7 tahun, benar, di pertemuan pertama kami. Rambut hitam pekat bersama hidung mancung, sepasang mata tajam pantas disandingkan dengan bibir tipis di wajahnya. Perawakan tubuh kecilnya memberi kesan dingin dan cuek.

Aku tertegun. Dari sudut pandangku tentu saja Atila sangat tampan. Seperti sebuah berlian yang berlindung di sudut lautan penuh cumi-cumi, ditemukan olehku yang memancing tanpa umpan.

"Nah, ayo berkenalan." ujar ibu sembari mendorongku maju.

Sedikit gugup pada awalnya, tapi semangatku lebih membara. Tanganku terulur meminta jabat di depan bocah tampan, "Salam kenal! Aku Adila, sudah kelas 1 SD."

Atila mengerutkan kening mendengar ucapanku, mungkin keheranan karena nama kami berdua mirip. Saat aku tahu nama kami seperti anak kembar, aku juga super terkejut!

Ibuku memberi alasan, karena dirinya dan ibu Atila sangat dekat ... mereka janjian memberi nama yang sama.

"Aku Atila." bocah lelaki itu akhirnya membalas singkat.

"Kamu kelas berapa?"

"Kelas 1 SD."

Aku sumringah, "Wah, sama!"

Sejak itu aku dan Atila selalu berada di sekolah yang sama, dari SD atau SMP. Tubuh kami yang awalnya setinggi perut ibu, akhirnya beranjak tumbuh seiring masa pubertas berlaku.

Aku selalu mengekori Atila kapan saja, kenapa? Karena aku sangat suka Atila! Ini adalah interaksi pertemanan yang sangat wajar, walau respon dari Atila sungguh dingin.

Tapi entah sejak kapan, rasa suka antar teman ini menjadi sedikit rumit. Hati berdebar kencang yang aneh, perasaan asing ketika melihat Atila sibuk dengan yang lain.

Aku mulai menyadari perasaan aneh ini saat SMP. Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada Dinda, sahabatku.

"Din, aku kayaknya sakit."

Dinda, yang sibuk dengan bedaknya, menoleh cepat. Wajah gadis itu tercetak penuh pertanyaan, "Hah?"

"Waktu aku tatap-tatapan sama Atila, jantungku jadi cepet banget! Rasanya asing, aneh, aku jadi takut."

"Aku kira apa!" Dinda menyikut lenganku, "Polos banget, ya, kamu? Udah jelas kamu jatuh cinta sama Atila. Ciee~"

Setelah pertanyaanku terjawab, aku langsung percaya. Dinda memang sahabat yang tidak pernah berbohong, jadi aku tidak punya alasan untuk menyangkal atau menolak jawabannya.

Alasan kenapa aku begitu berdebar, aku jatuh cinta.

Semenjak itu aku malah menikmati berbagai perasaan asing yang ada. Lama-lama membuatku candu. Dengan liciknya aku memanfaatkan waktu berdua bersama Atila, seluruh detik aku rasakan, sayang jika ditinggalkan.

Kupikir situasi ini akan terus tenang hingga dewasa. Namun, saat kelulusan SMP, aku menyadari sesuatu.

Atila dan aku berbeda sekolah!

Atila, cowok sempurna nan pintar, berhasil memasuki SMA bergengsi di Kota. Sedangkan aku yang agak-agak bodoh ini hanya bisa bersyukur di sekolah lain.

Menyadari jika waktu bersama akan berkurang, Dinda terus mendorongku untuk menyatakan cinta sebelum berpisah sekolah. Awalnya aku gugup, tapi lagi-lagi semangat membara melahap kegugupanku.

Aku akan menyatakan cinta, dan itu tepat saat ini!

"Atila." aku menyikut pundak Atila yang sibuk membaca buku dari rak.

Mata tajam Atila melirikku. Sebelas tahun berjalan aku mengenalnya, dan perawakan Atila tumbuh semakin menarik banyak gadis di luar sana. Benar-benar tampan, apalagi tinggi badan yang menjadi idaman.

Aku memperbaiki posisi duduk sembari menenangkan diri, ayo, ini waktunya menyatakan cinta.

"Aku pengen ngomong sesuatu."

"Ya," Atila kembali fokus ke bukunya, "Ngomong aja."

Kugigit bibir bagian bawahku, kegugupan semakin menjalar hebat. Tidak bisa begini, aku harus minum air untuk menenangkan diri. Maka dengan ceroboh aku beranjak dari kasur, sayangnya jemari kaki sialan ini tersangkut selimut hingga tubuhku condong ke depan.

Aku tersentak, menutup mata berusaha menerima rasa sakit yang akan aku timpa. Tapi, rasa sakit itu tidak kunjung datang. Mataku terbuka secara perlahan, ternyata Atila menangkapku dengan cekatan.

"Ah," aku terpesona dengan wajah baswara yang menghalangi lampu kamar itu, "Atila ... aku cinta kamu."

Alis Atila mengerut tanpa aba-aba, "Hah?"

"Kamu mau jadi pacarku, nggak?"

Eh?

Sial, sial, mulut bodoh ini tidak bisa diatur! Rencana pengakuan romantis di benakku langsung hancur begitu saja.

Aku berusaha pergi dari pelukan Atila, "Eum, i-itu, lupain yang aku bilang barusan."

Saat aku hampir lepas dari pelukannya, Atila malah semakin mengencangkan pegangan seolah mengunciku ke dalam dada bidangnya.

"Oke." balas Atila tanpa ekspresi.

Jadi aku kebingungan dengan maksudnya, "Hah?"

"Ayo pacaran."

Pengakuan berantakan berakhir baik, kami resmi berpacaran~

[END] Lembayung Senja (Short Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang