3. Dera yang Selaksa

71 14 2
                                    

▶ Tertawan Hati - Awdella

----------------------------------------------------

"Astaga, pasti sakit banget." ibu ketakutan melihat luka di sekujur tubuhku.

Tersenyum, aku mengangkat bahu. Tak tahu kenapa, rasa sakit dari luka ini tidak terlalu nyeri bagiku. Ada yang lebih menyakitkan, sesak, berat, di dada ini.

Mengetahui bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan ringan, tante Nina, alias ibu Atila, segera pergi ke rumahku untuk menjenguk. Tentu saja Atila ikut.

Ceklek.

"Bayikuu!" tante Nina berlari langsung menuju samping sofa, menatapku dengan penuh rasa prihatin.

Atila menyusul dari belakang, ekspresinya tetap datar walau aku kesakitan. Lelaki itu meletakkan plastik berisi buah-buahan di meja lalu duduk diam.

Ini yang membuat lebih menyakitkan dari pada luka yang aku terima. Sesak, aku menunduk mengusap hidungku yang gatal karena menahan tangis.

Tante Nina menatap ibuku, "Apa kata dokter?"

"Nggak apa-apa, cuma luka ringan aja." balas ibu dengan ekspresi lega.

Atmosfer ruangan terasa mencekam, aku benar-benar tidak tahan. Lantas dengan tatapan memelas, aku memainkan jari-jari tangan ibuku bersikap sok menggemaskan.

"Ibu, aku pengen keluar, sendirian."

Ibu tersentak, "Ngapain?"

"Pengen jalan-jalan aja." balasku.

Tante Nina menarik lengan putranya tanpa basa-basi, "Sama Atila aja, nak. Takut-takut kamu nggak kuat jalan, jadi ada Atila."

Dengan semangat aku menolak, "Nggak!"

Tapi sayangnya ibu dan tante Nina memiliki pemikiran yang sama, jadi tidak ada yang bisa menolaknya. Aku segera beranjak dari sofa dan berjalan-jalan di sekitar rumah. Di depanku, Atila diam berjalan lebih dulu.

Langkah kaki lelaki itu cepat. Atila berjalan tanpa menoleh ke belakang, seolah mengabaikan atau tidak mempedulikan aku yang terluka.

Hidungku gatal lagi, air mataku terus-terusan minta keluar hari ini. Segera aku menunduk dan mengusap kasar hidungku, syukurlah tangis ini dapat ditahan.

Jika dilihat-lihat, sepertinya Atila tidak ada niatan untuk minta maaf. Jika hubungan kita terus-terusan seperti ini, aku juga tidak akan kuat.

Terpaksa, aku harus mengalah dan minta maaf padanya.

"Atila."

Setelah aku memanggil, akhirnya langkah Atila berhenti sembari menoleh ke belakang. Jarak kami berdua cukup jauh, dihitung berjarak lima langkah kaki.

"Aku minta maaf soal tadi, aku berlebihan." ujarku dengan sungguh-sungguh, "Jangan marah."

Atila tampak menghela napas lalu mendekat, "Oke."

[END] Lembayung Senja (Short Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang