ˢᵘᵏᵃ

122 25 1
                                    

Seperti yang dikatakan dokter itu sebelumnya, aku dititipkan di panti asuhan. Tentunya dengan persetujuan dariku.

Orang-orang dipanti menyambutku dengan lapang dada. Aku jadi tersentuh. Tapi aku tidak boleh menurunkan kewaspadaanku.

"Kakak, selamat datang di rumah. Kakak suka boneka tidak? "

Haha, dia ngomong apa sih? Pake bahasa Inggris dong, aku mana paham bahasa Korea.

"Dia bilang, kau suka boneka atau tidak?"

Pak dokter, makasih udah transletin, huhu. Suka, boneka? Hmm.... Aku suka boneka sih. Apalagi boneka burung yang ku beri nama Eren.

Aku mengusap rambutnya dan tersenyum. Rambutnya lembut seperti bulu Pororo. Duh, jadi kangen Pororo.
"..... Suk-ka...."

Apa aku mengatakannya dengan benar. Huhu, semoga saja benar. Aku malu kalau aku salah ngomong.

Aduh, dia kelihatan bingung. Jangan-jangan aku benar-benar salah ngomong, huhu, mama.

"Ah, jadi kau tidak bisa bahasa Korea ya? Apa kau bisa bicara menggunakan bahasa Inggris?"

"..s-eikit.."

Wah, parah. Bahasa Inggrisku benar-benar buruk. Malunya. Dia pasti mengejekku.

Ku rasakan kepala di pat-pat. Aku mendongak menatap pengurus panti yang cantik. Walaupun sudah tidak muda lagi, wanita di depanku ini masih cantik. Bahkan, aura cantik dari hatinya pun juga kerasa. Irinya, aku ingin seperti dia.

"Aku sudah mendengar semuanya dari pak dokter. Pasti berat ya bagimu. Terlebih lagi pasti susah untuk anak kelas 2 SMP untukmu menafkahi dirimu sendiri"

Anak kelas 2 SMP?

"Maaf, tapi... Aku kelas 1 SMA"

Pengurus panti dan dokter terkejut. Yah, itu wajar sih. Soalnya untuk umur 16 tahun ke bawah itu masuknya bocah SMP bukan SMA. Beda kalo diindo.

"O-oh, maafkan aku. Aku tidak tahu"

Aku mengangguk saja. Mewajarkannya.

"Pak dokter, kakak itu bicara apa?"

"Hmm... Ah, dia bilang kelas 1 SMA"

"EHHH?!"

Pengurus panti membawaku masuk. Anak-anak juga mengikuti. Mereka terlihat senang. Apa itu artinya aku diterima disini? Ah, tetap saja, aku tidak boleh lengah.

"Pak dokter, terimakasih!"

Aku melambai pada pak dokter yang juga melambai balik ke arahku. Jujur, aku sangat amat berterimakasih pada pak dokter. Mungkin tanpa dia, aku tidak akan punya tempat tinggal dan tentunya aku akan mati kelaparan bersama Pororo...... Duh lagi-lagi keinget Pororo.

"Kakak dari Indonesia ya? Aku juga dari sana!"

Uaah, syukurlah ada yang bisa bahasa indo༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ.

"Ngomong-ngomong, nama kakak siapa?"

Huh? Apa? Dia ngomong apa ya? Minta kenalan?

"(Name)"

"Uaah, nama kakak biasa aja ya, gak ada spesial-spesialnya. hahah"

Ingin ku berkata kasar. Tapi ingat sekarang bulan puasa.

"Aku Dita"

Ah, jadi namanya Dita toh. Dita kerang? Mata ku bersitatap dengan mata hitam milik bocah dengan jaket merah. Ung....? Kenapa dia menatapku begitu? Apa aku melakukan kesalahan? Apa kehadiranku membuatnya tidak nyaman? Ataukah....... Ah, aku melakukannya lagi ya... Baiklah! Kalau begitu aku akan menjaga jarak dengan anak-anak ini agar aku tidak punya musuh. Hohoho, brilian sekali diriku ini.

𝐑𝐞𝐚𝐥𝐢𝐭𝐲 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang