"Nih Kak, minumnya."
Suara dentingan botol kaca beradu saat kresek hitam mendarat di atas meja.
Lelaki berperawakan tinggi yang duduk di hadapanku merengutkan dahi, lalu menilik isinya. "Gak dingin? Tadi pesennya yang ding—"
"Gak tahu yang penting minum dulu ngilangin pedes!"
Saat tutup botol terbuka, keluar desisan kecil. Yang terlintas dipikiranku hanyalah, 'Oh, ini soda'. Saat cairannya membasahi kerongkongan yang panas akibat mi 'pedas mampus' ini, busanya tidak terlalu mencekat. Menyelesaikan tiga tegukan, aku menghela napas lega. Sedangkan Kakak baru menelan satu tegukan langsung mengecap lidahnya. Mungkin dia tidak suka, karena teksturnya yang meninggalkan rasa sarkas di lidah. Aku lanjut minum hingga isi botol yang sekecil genggamanku langsung tandas. Sebab minuman ini ampuh untuk hilangkan rasa bakar di mulut.
Sedangkan dia masih fokus membaca stiker yang tertempel pada botol setalah menyelesaikan tegukan kedua. Sepersekian detik kemudian matanya melebar selebar-lebarnya.
"Lo ngapain beli obat perangsang!"
"Hah!?" Atensiku yang sudah sepenuhnya kembali setelah lenyapnya rasa pedas, berharap dia mengulang dua kali ucapannya karena pendengaranku barusan salah.
"Ini obat perangsang tubuh! Lo nyadar gak sih?" DI balik kacamata yang Ia kenakan, sorot matanya berubah tajam, sedikit menurunkan volume suaranya agar pengunjung lain tidak mendengar.
"Ha apaansih, Kak." Aku kembali mengambil botolku yang sudah kosong dan membaca bagian yang belum sempat mencuri pandangku sama sekali. "Ini cuman minuman vitamin kan? 'Minuman Power, Untuk Badan Siap Tempur'," bacaku pada slogan di bawah merek produk.
Seakan frustasi menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan setelah terlanjur menelan, tangannya meremas rambutnya sambil berkata lugas. "Baca! Ingredients-nya."
Butuh sepuluh detik untuk aku bisa mencerna kalimat yang lebih dari 3 baris itu, barulah wajahku persis sama dengannya saat menyadari minuman apa ini.
"Kok bisa—"
Terburu aku mengambil botolnya bersama dengan milikku dan berlari membantingnya ke tong sampah.
Goblok!
Aku kembali duduk dengan gemetar, menatap wajahnya saja aku malu.
"Kok bisa—"
"Gue baru ingat! Diperjalanan ke sini gue nabrak bapak-bapak sampai jatuh. Dia juga bawa kantong kresek yang sama kayak gue, mungkin disitu... Ah bodoh! Kenapa kejadian sih! Pantas aja pesanannya gak sesuai—"
"Gue baru minum dua teguk, lo sampai habis. Gimana?" tanyanya dengan mode serius.
Sedikit tergelak dengan pertanyaannya, aku berdehem. Merasakan setiap sel-sel tubuhku dengan terperinci. "Gak, gak berasa apa-apa! Ah, Kak, belum tentu juga itu beneran obat kayak gitu kan?" Aku terkekeh renyah. "Lagian orang itu bisa dapat itu dari mana coba? Memang legal?"
"Legal, selagi umurnya—"
"Gak usah diperjelas dong, Kak! Lagian yang ditulisannya bisa gak benarkan? Memang Kakak ngerasa? Enggak, kan? Yaud—"
"Ditulisannya setelah lima belas sampai dua puluh menit pemakaian."
Bibirku terkatup beribu bahasa, bingung ingin mengambil stok kalimat apa lagi. Kenapa juga dia tidak ikut berpikir positif agar detak jantungku tidak kian bertambah? Aku hanya bisa tersenyum, dan tertawa patah-patah di tengah napasnya yang berderu gusar.
***
Kami sampai di perjalanan, dengan kondisi canggung di dalam mobil. Aku terus berpikir positif, tidak ingin mengutamakan perasaan tubuh, atau bahkan menghitung sudah berapa menit berlalu sejak aku meminum minuman laknat itu. Tapi detik demi detik seakan tidak ingin memberi keringanan waktu. Hawa asing mulai meraba sel-sel dalam tubuhku. Terus mengambil napas panjang berusaha menepikan rasa yang kian durasi membakar tubuhku. Badanku mulai gelisah, tanganku mengusap leher yang mulai berkeringat saat kutilik suhu pendingin dalam mobil padahal masih berkerja stabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother But Not Brother
Teen Fiction"Lo ngapain beli obat perangsang!" "Hah!?" "Ini obat perangsang tubuh! Lo nyadar gak sih?" "Ini cuman minuman vitamin, Kak!" "Gue baru minum dua teguk, lo udah minum sampai habis, tubuh lo aman?" ----------------------------- Denial. Itu yang dira...