MENJELANG berbuka adalah momen di mana orang-orang menjalankan rutinitasnya, yaitu ngabuburit. Kalau versi gue, ngabuburit enggak harus jalan-jalan, sepedaan, bahkan nongkrong di gardu komplek.
Versi gue ngabuburit, ya tidur. Hemat uang dan hemat tenaga mungkin itu sebuah motivasi yang ditanamkan oleh abang gue sejak dini. Menurut gue, itu lebih aman daripada kasusnya si Solihin–temen gue yang mancing ikan tapi ternyata malah dianya yang dipancing ikan. Mau heran ya gimana, orang dia temen gue.
Baru lima menit merem, Mama membuka pintu kamar gue dan menampilkan wajah tidak sukanya.
"Ram, enggak baik tidur jam segini," ucap Mama. Gue reflek membuka mata. Agaknya hari ini Mama pulang cepat karena sudah tidak ada jadwal praktik lagi.
"Mau pikun kamu?" Tanya Mama yang membuatku melongo. Gue yakin setiap orang yang pernah gue temui dan misal gue tanya ingin pikun atau enggak, kemunginan seratus persen jawaban mereka adalah tidak mau. Ya kali mau pikun, gue belum dapet jodoh.
"Enggak lah, Ma. Rama belum tua, ya." Gue memposisikan tubuh gue yang awalnya tidur menjadi duduk. Sepertinya rencana tidur sore gue bakalan gagal.
"Tidur sore itu bikin pikun, Ram. Lama-kelamaan bisa nurunin daya ingat. Tidur sore juga bisa nurunin daya tahan tubuh, micu kolesterol, diabetes. Karena kamu enggak banyak gerak alias molor terus, produksi insulinmu jadi keganggu," jelas Mama. Gue jadi heran, Mama gue ini dokter gigi apa dokter penyakit dalam. Gue hanya bisa nyengir di depannya.
"Mending kamu ikut Mama beli keperluan buat masak sekalian belajar masak. Bang Kafi mau pulang. Ayo cepet." Mama langsung menyabet kunci motor yang ada di meja samping pintu kamarku.
Mau tak mau gue harus segera berganti kostum kalau tidak ingin terjadi perang badar versi kedua lagi hanya gara-gara gue kelamaan ganti baju.
"Yuk, Ma." Setelah siap, motor melaju dengan kecepatan 60 km/jam. Menurut gue ini kecepatan yang terlalu kencang untuk driver sekelas ibu-ibu. Hingga perut gue kenyang bukan karena makan bakso tapi makan angin.
Gue dan Mama telah sampai di supermarket KonglomeMart yang jaraknya kurang lebih satu setengah kilo dari rumah. Gue membenarkan khimar gue yang bentuknya udah seperti Masha di kartun Masha and the Bear. Ya, jipon.
Melihat Mama yang sudah masuk duluan, gue langsung menyusul. Saat memasuki supermarket melalui automatic door, mata gue mendadak enggak bisa kedip, mulut gue terbungkam, dan air liur gue mencelos begitu saja di dalam tenggorokan.
Gue melihat kue-kue dan boxes roti yang tersusun rapi di tiga rak besar khusus. Demi apa, kalau gue ahli warisnya Abdurrahman bin Auf, enggak cuma makanannya yang gue borong, pabriknya bakal gue beli sekalian.
Gue melihat-lihat berbagai jenis cookies yang sangat nyata ada di depan gue. Oke, gue bakal minta mama buat membeli satu. Segera gue menyusul mama lagi yang entah sudah tiga menit lalu gue kehilangan jejaknya.
Dengan bantuan jilbab panjangnya yang berwarna fanta itu membuat gue cepat untuk menemukan mama. Meskipun harus keliling dulu dan tanya sama cleaning service. Hampir gue diantar di tempat information center buat menjelaskan kronologi kepada perugas keamanan setelah gue dikira masih anak SMP hanya karena gue pendek, imut, dan manis. Buka kata gue, tapi kata petugasnya tadi. Kini gue malah mendadak baper bukannya laper.
"Dari mana aja, Ram? enggak cuma sandalnya aja yang suka ngilang, tapi owner-nya juga," ucap Mama. Gue tertawa mendengar pernyataan mama yang menurut gue cukup lawak.
"Lagi liat-liat cookies, Ma. Entar beli, ya. Satu aja, kok, please ...." Gue memohon dengan puppy eyes andalan gue.
"Tapi bantuin bawa ini, banyak yang harus Mama beli." Gue mengiyakan perkataannya dan membawa dengan keranjang belanja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rama dan Ramadannya
No FicciónRamadhina Fajri Aziza, yang bersiklus di bulan Ramadan ke 18-nya. Berusaha berkutat dengan resolusi ibadahnya, dan terkadang overthinking sama dosanya. Prinsip hidupnya: hidup itu kalau engga gini ya gini amat. Seperti Ramadannya kali ini. Ia bena...