Ketiga

314 48 9
                                    

        "Tumben banget. Biasanya mana pernah dia ngajakin makan malam bareng," ujar Seruni berbisik kecil.

      Aku dan Seruni akhirnya ikut Dilla dan Rayyan hendak makan malam bersama. Awalnya, aku enggan dan begitu juga dengan Seruni. Namun, Dilla sepertinya tidak menyerah, entah mengapa dia ngotot sekali ingin kami ikut bersama mereka. Hingga aku dan Seruni pun merasa tak enak untuk menolak.

      Sepanjang perjalanan, tangan Dilla tak berhenti menggandeng lengan Rayyan. Lelaki itu tampak tidak merasa risih sama sekali. Mungkin mereka memang sudah terbiasa seperti itu, karena keduanya sedang menjalin hubungan spesial. Tidak ada yang salah jika bergandengan tangan di tempat umum, bukan?

      "Makan di restoran hotel aja, nggak usah keluar," ujar Rayyan saat kami sudah memasuki lift.

      "Kenapa emangnya, Ian?" tanya Dilla mengernyit. Ian adalah panggilan khusus dari Dilla kepada Rayyan sejak mereka kecil. "Bukannya kamu tadi pengen nyari coto makassar?"

      "Nggak jadi."

      Aku hanya diam menyimak pembicaraan kedua orang yang berdiri di belakang aku dan Seruni di dalam lift.

      "Nggak usah banyak tanya. Nggak jadi ya nggak jadi aja."

      Nada bicara Rayyan terdengar begitu dingin. Seruni melirikku, namun aku pura-pura hanya diam saja seolah tidak peduli dengan apa yang kedua orang itu bicarakan.

      Tak lama, kami berempat tiba di restoran hotel.

      Aku memesan nasi goreng dan kami berempat mengobrol santai sambil menunggu pesanan makanan kami datang. Ah, lebih tepatnya hanya Dilla yang banyak berbicara dan ditimpali oleh Seruni. Sedangkan aku hanya sesekali menimbrung. Aku mual rasanya mengingat kelicikan Dilla dulu. Dia yang terlihat baik dengan sikap ramahnya kepada siapa saja, termasuk kepadaku dulu, namun di belakangku malah menjelek-jelekkan aku. Aku sempat mengajak perempuan itu bertemu sesaat setelah Rayyan meminta kami break, akan tetapi Dilla tampak tidak merasa bersalah sama sekali.

      "Kak Rayyan minta kami untuk break dulu," ujarku pada perempuan tinggi semampai yang duduk di depanku pada sebuah cafe.

      "Loh, kenapa gitu? Kalian ada masalah?"

      Rasanya aku ingin sekali mencakar mukanya mengingat kata-kata perempuan itu pada room chat di ponsel milik Rayyan. Aku ingat persis di mana dia menyarankan Rayyan agar mengakhiri hubungannya denganku.

      Dia itu masih labil, Ian
       Mungkin masih pengen senang-senang
       Enggak bisa LDR-an sama kamu, makanya dia cari yang lain
       Yang selalu ada nemenin kapan pun dia butuh

      Darahku mendidih begitu mengingat akan apa yang perempuan itu sarankan kepada kekasihku.

      "Kak Dilla bilang apa aja sama Kak Rayyan tentang aku dan Rafli?" tanyaku to the point. Tidak mau berbelit-belit.

      "Maksud kamu apa, Van? Aku enggak ngerti." Dilla meraih segelas cappucino latte di depannya, lalu meneguknya perlahan. "Kamu emangnya ada masalah sama Ian gara-gara Rafli?"

      Pintar sekali Dilla ini bersandiwara. Pura-pura tidak mengerti apa pun, padahal dia lah sumber masalahnya.

      "Kak Dilla bilang apa sama Kak Rayyan?" tanya sekali lagi dengan nada yang cukup tinggi dan dingin.

      "Aku enggak bilang apa-apa. Aku enggak ngerti maksud ka— "

      "Bohong!" potongku cepat. Aku tertawa hambar. "Kak Dilla bilang sama Kak Rayyan kalau sering ngeliat aku dan Rafli jalan, bermesraan dan banyak lagi. Dan aku nggak nyangka, Kak Rayyan ternyata lebih mempercayai ucapan sahabatnya sendiri dibanding aku pacarnya."

Flight to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang