Olivia 1

16 2 3
                                    

Bel istirahat berbunyi, Olivia dengan santainya keluar kelas dan berjalan menuju kantin, sepanjang jalan Olivia menjadi pusat perhatian. Seisi sekolah menatapnya dengan tatapan yang berbeda-beda, beberapa menatapnya dengan takut, heran atau bahkan bingung. Olivia mengacuhkan semua tatapan mereka, ia tetap berjalan dengan santai ke kantin dan memesan makanannya, ia makan dengan sangat tenang tanpa menghiraukan Luna yang sedari tadi mengikutinya dan terus menatapnya.

Bisik-bisik mulai terdengar, murid-murid mulai mempertanyakan siapa Olivia sebenarnya. Wajahnya yang mirip dengan Rachel membuat mereka kembali dihantui ingatan tentang tragedi kelam dua bulan yang lalu, mereka juga membicarakan tentang penampilan Olivia yang sangat berbeda dengan Rachel.

Olivia yang semula tidak peduli, mulai merasa risih dengan tatapan para murid.

“Bisa berhenti natap gue? Kenapa? Kalian kebayang-bayang wajah Rachel? Jelas lah, kalian kan orang-orang yang cuma diem liat kembaran gue dibully. Kalian juga cuma diem waktu Rachel hampir mati karena Vandra.” Olivia menjeda ucapannya, ia menatap satu persatu wajah murid-murid yang ada di kantin.

“Olivia, selama ini lo sendiri ke mana?” tanya Luna jengkel.

“Gue? Gue tinggal sama Papa di Surabaya, gue jauh dari Rachel. Rachel juga gak pernah cerita aneh-aneh ke gue, kita ketemu juga cuma setahun dua kali, itu pun Rachel selalu seneng-seneng kalau lagi  sama gue,” jawab Olivia santai.

“Kalau begitu lo lebih parah dong, lo gak pernah hadir buat Rachel sementara gue selalu ada buat dia,” ucap Luna kesal.

Olivia tertawa. “Gue gak pernah hadir karena Papa sama Mama punya masalah hukum, ada  hukum yang gak boleh Papa langgar di sini. Jadi gue sama Rachel memang cuma bisa ketemu setahun dua kali.”

“Rachel?!”

Olivia menoleh, ia tersenyum melihat Vandra dan kedua temannya yang sedang menatapnya dengan tatapan takut.

“Oh, ini Vandra kan ya? Kenalin, gue Olivia.” Olivia mengulurkan tangannya dengan santai, membuat Vandra dan kedua temannya semakin panik.

“Kenapa? Lo gak mau kenalan sama gue? Oh, atau lo udah kenal sama gue? Gak mungkin sih kalau udah kenal, kita kan belum pernah ketemu.” Rachel tertawa kecil, ia kemudian melanjutkan ucapannya, “eh, tapi lo kenal kembaran gue kan? Namanya Rachel, dia dulu juga sekolah di sini loh.”

Vanda dan  kedua temannya semakin panik, aura Olivia tak main-main, gadis itu seperti dipenuhi oleh dendam. Tatapannya yang tajam dan menusuk membuat ketiga gadis itu semakin dilanda ketakutan.

“Ah, jelas kalian inget dong, dia kan sasaran bully kalian yang paling utama, iya kan? Gue tau alasannya, pasti karena Rachel cupu trus gak mau ngelawan, iya kan? Iya sih, Rachel emang baik dan penyabar, dia juga lemah, jadi pasti dia sasaran yang super empuk buat bullying iya kan?”

Vandra masih terdiam, ia mulai menyesali keputusannya untuk datang ke kantin setelah mendengar rumor Rachel hidup kembali. Rachel memang tak hidup kembali, tapi kematiannya seperti membangkitkan malaikat pencabut nyawa bagi Vandra dan murid-murid lainnya.

“Kenapa diem? Kalian takut? Loh, bukannya kalian suka ya sama suasana-suasana begini? Kan kalian suka bully, jadi gak mungkin dong omongan gue tadi bikin kalian takut.”

“Olivia, lo buat kita semua gak nyaman,” ucap Luna terang-terangan.

“Gue buat kalian semua gak nyaman?” Olivia tertawa, sesaat kemudian ia memukul meja dengan keras. “Kalian gak nyaman liat gue ngomong santai ke Vandra, tapi selama ini kalian nyaman-nyaman aja liat kembaran gue di bully, itu konsepnya gimana?!” seru Olivia kesal.

“Denger ya, gue di sini bukan buat belajar, gue di sini buat balas dendam, jadi lebih baik kalian hati-hati dalam ambil langkah kalau kalian gak mau menyesal. Gue gak selembek Rachel, jadi, tunggu aja tanggal mainnya, oke!”

*

Olivia membuka pintu rumahnya, ia tersenyum melihat Ayahnya duduk santai di sofa.

“Pa, Oliv pulang.”

Agung berdiri, ia langsung memeluk putrinya, mengecup keningnya dengan lembut.

“Gimana sekolahnya?” tanya Agung lembut.

Olivia melempar tasnya ke sofa, ia kemudian duduk di sofa, tangannya menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan agar sang Ayah duduk di sampingnya. Agung tertawa, ia duduk di samping Olivia seperti yang putrinya inginkan.

“Ceritanya panjang apa gimana?” tanya Agung.

Olivia mengangguk semangat.

“Tadi di sekolah banyak banget yang ngira Rachel hidup lagi, mereka jadi natap Oliv seakan-akan Oliv itu hantu. Oliv juga ketemu sama orang-orang yang pernah bully Rachel, Oliv berhasil bikin mereka ketakutan.”

“Olivia, jangan main-main, kamu di sana buat menyelidiki kematian Rachel, bukan buat main-main sama anak-anak gak penting itu.”

“Papa tenang aja, penyelidikan tetap berjalan, tapi balas dendam juga harus terlaksana,” ucap Olivia sembari tersenyum miring.

“Olivia, Papa memang mendukung kamu melakukan semua ini, tapi jangan sampai kamu membahayakan diri kamu sendiri. Papa udah kehilangan Rachel, Papa gak mau kehilangan anak Papa lagi,” ucap Agung.

“Iya Papa, Oliv ngerti, Oliv bakalan jaga diri kok,” balas Olivia.

“Omong-omong, gimana keadaan Mama?” tanya Olivia.

Agung tersenyum kecut. “Masih sama.”

“Kalau gitu Oliv liat Mama dulu ya.” Olivia berpamitan lalu naik ke lantai dua, tempat kamar Rachel berada.

Olivia membuka pintu kamar Rachel dengan sangat pelan, ia masuk dan duduk di samping sang Ibu yang sedang tidur sembari memeluk foto Rachel. Olivia mengelus rambut Ibunya, mata Ibunya sembab, jelas Ibunya itu menangis sampai tertidur.

Rahayu membuka matanya, ia tersenyum melihat Olivia duduk di sampingnya.

“Anak Mama udah pulang? Gimana sekolahnya?” tanya Rahayu.

Olivia tersenyum kecil. “Sekolahnya baik kok ma, hari ini Oliv banyak belajar hal baru.”

Rahayu bangkit, ia menatap Olivia dengan tatapan tak suka.

“Oliv lagi, Oliv lagi. Mama kan tanya ke Rachel, kenapa malah bahas Oliv?” Rahayu berseru kesal.

Olivia hanya bisa tersenyum miris mendengar perkataan Ibunya. Rahayu memang mengalami gangguan mental sejak kematian Rachel, wanita paruh baya itu selalu berbicara seakan Rachel masih hidup. Dia selalu menganggap Olivia adalah Rachel, dan hal itu tentu saja membuat Olivia benar-benar terpuruk.

Seolah kematian sang adik belum cukup membuatnya hancur, sekarang Ibunya juga terlihat seperti manusia tanpa jiwa. Perlakuan sang Ibu kepada Rachel selama Rachel hidup selalu membuat Olivia ingin mengumpatinya, tapi melihat keadaannya sekarang, Olivia justru merasa kasihan pada Ibunya dan dirinya sendiri yang kehilangan identitas di depan sang Ibu.

“Ma, aku Olivia, bukan Rachel,” lirih Olivia.

“Hmm, kamu ngomong apa sayang?” tanya Rahayu.

Olivia tersenyum. “Gak, gak papa Ma, Rachel cuma bilang kalau Rachel kangen Oliv aja.”

“Kalau gitu panggil aja Oliv ke sini, Mama juga kangen sama Oliv,” ucap Rahayu semangat.

“Ntar deh ma, kalau liburan, kan nanti kita jadi bisa liburan bareng,” balas Olivia.

“Ide bagus, anak Mama memang pintar,” puji Rahayu.

Olivia tertawa kecil. “Makasih, Mama.”

The Twin's RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang