Hans memegang tangan Dika dan menghalanginya beranjak pergi.
"Ka, jangan pulang dulu." Kata Hans yang membutuhkan teman untuk mengeluh. Farrel membuatnya kesal karena tidak mau rujuk dengan mamanya. Dika sudah menemaninya selama lebih dari dua jam tapi belum cukup untuk mengatasi kedongkolannya.
"Kalau gue ngga pulang, nanti kemaleman." Keluh Dika yang mulai terganggu akan sikap menempel Hans.
"Makanya nginep di sini aja."
"Ngga bisa hari ini. Lain kali aja."
Hans langsung kecewa. Wajahnya tidak menutupi kekecewaan itu sama sekali. Dia terlihat seperti anak anjing yang dibuang karena tidak diharapkan. Melihat ekspresi itu, Dika memutar bola mata beberapa kali.
"Lo kenapa sih, nempel banget. Gimana kalau lo telfonan sama cewek lo aja biar seneng?"
"Mereka ngga ada yang ngerti. Cuma lo yang bisa ngerti." Rajuk Hans. Orang ini sering memarahi Farrel setiap ayahnya merajuk tapi dia sebenarnya sama saja.
Melihat Hans yang sedang berada pada mode melankolis, Dika akhirnya menyerah dan menelepon pulang untuk meminta ijin menginap. Setelah mengobrol beberapa menit, dia menutup telefon.
"Papa gue udah ijinin. Apa lo seneng sekarang?"
Hans mengangguk gembira.
Malam itu Dika harus mendengar lagi kebingungan Hans atas kondisi keluarganya. Cerita ini sebenarnya sudah diulang beberapa kali namun karena penyelesaian yang Hans inginkan tidak pernah terwujud, dia jadi terobsesi. Obsesi itu bahkan dicemooh oleh Renata dan Si Kembar.
"Kenapa sih lo ribet banget? Yang penting kan ayah sering datang dan ngasi hadiah. Urusan hubungan mereka, ngapain dipaksa kalau orangnya ngga mau?" Gerutu Renata. Dia sebenarnya juga pernah berusaha menyeret Farrel untuk tinggal dengannya namun tidak berhasil. Akan tetapi dia lebih cepat menyerah dibandingkan Hans.
"Tapi gue ngga suka mereka cerai." Keluh Hans. Dia memang tidak habis pikir soal itu. Kalau mendengar dari orang lain, biasanya orang yang bercerai akan membenci satu sama lain dan tidak pernah rukun. Ayah dan mamanya beda. Mereka masih bersahabat hingga sekarang tanpa ada tanda-tanda kebencian sama sekali. Karena itu Hans merasa melihat harapan.
"Masih aja masalah yang itu." Sahut Johan.
"Ngga ada yang baru. Ngga seru." Tambah Theo.
Mereka duduk berdua menghadap layar laptop. Tulisan-tulisan bergerak di layar tidak bisa Hans pahami.
"Kalian sih emang ngga peduli sama siapapun." Hans bergumam ketus. Dia kemudian menarik Dika pergi dari ruang keluarga. Sudah lama Hans merasa tidak dimengerti oleh saudara-saudaranya yang hanya mementingkan diri sendiri itu.
"Gue cuma pengen keluarga yang utuh. Apa salahnya? Mereka juga dulu bisa nikah, artinya pernah saling suka kan? Kenapa ngga saling suka lagi aja?"
"Tapi urusan kayak gitu emang ngga bisa dipaksa, Hans. Mungkin ayah sama mama lo emang punya alasan. Mereka pasti udah mikirin semuanya sebelum memutuskan itu. Kenapa lo ngga percaya aja sama mereka?"
"Tapi kan keluarga gue jadinya cacat. Ngga utuh kayak keluarga orang lain."
"Jadi masalah lo itu? Ngga mau punya keluarga yang cacat?"
"Gue ngga suka ngeliat gimana pandangan orang ke gue karena tahu ortu gue cerai."
Alasan Hans itu membuat Dika memutar bola matanya. Pangeran Hans memang tidak suka citranya terkotori. Dia selalu menginginkan kesempurnaan dalam hal apapun. Meskipun dia perlu berusaha keras, dia tetap akan mempertahankan citra itu. Dari sinilah benih kemunafikan Hans akhirnya mengakar kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Bikin Gue Jatuh Cinta
JugendliteraturMenurut Dika, cinta itu ngga susah. Yang susah adalah jatuh cinta pada temen sendiri. Yang lebih susah kalau jatuh cinta pada teman yang playboy. Lebih susah lagi kalau teman itu playboy, sama-sama cowok, dan lengket banget. Itulah kenapa ketika suk...