ii). reality

991 172 4
                                    

Seminggu adalah waktu yang sangat cukup bagi (Name) untuk mulai menyerah mengajari Sae. Sungguh, gadis itu tak dapat memahami lagi mengapa Sae memiliki otak yang tampaknya ... memiliki isi yang berbeda dibanding orang kebanyakan.

Bagaimanapun, walau hendak menyerah, (Name) tetap memaksakan diri, sebab semangatnya ikut berkobar kala melihat Sae yang pantang menyerah.

Namun, setelah dipikir lagi ... sebenarnya ada sesuatu yang menggangu (Name).

Sebenarnya siapa sih yang pertama kali mengusung kalau lelaki bernama Itoshi Sae ini adalah sosok yang sempurna?

Menyebar berita bohong itu bukan hal baik, hei.

"... Ada yang salah denganku?" Pertanyaan yang mewakili isi hatinya yang risih akhirnya terucap dari bibir sang jejaka.

Sementara sang pelaku yaitu (Name) tersentak pelan, tak menyangka Sae akan menyadari tatapan intensnya di kala jejaka itu tengah sibuk mengerjakan soal.

"Ehm ... sebelumnya, maaf kalau ini menyinggungmu, tapi aku penasaran--"

"Adikku," potong Sae.

"He?"

"Adikku membanggakanku yang baru saja memenangkan lomba sepak bola antar sekolah. Sejak itu ... entah mengapa beritanya malah jadi dibesar-besarkan." Sae menjelaskan dengan lebih detail.

Rasanya (Name) jadi tidak enak karena pemikirannya diketahui Sae.

"Kamu bisa telepati?" tanya (Name) ngaco.

"Mana mungkin ...." Sae berkata sambil lalu, kembali mengerjakan soal dengan fokus. "Hanya saja ..." Sekilas, ia melirik (Name), "wajahmu gampang terbaca."

"Sejelas itu ...?" (Name) memegangi wajahnya dengan alis bertaut.

"Hmph."

(Name) yang tengah menepuk-nepuk wajahnya sendiri membeku, langsung menoleh ke arah sang murid dengan wajah terkejut. Namun, yang gadis itu dapati sama saja dengan sebelumnya; Sae yang fokus mengerjakan soal.

Tadi dia tertawa?

"Ada apa lagi? Di wajahku ada kotorankah?"

Sang gadis mengerjapkan mata. "Sae, aku bingung mau menyebutmu keren atau menyeramkan."

"Terima kasih, mungkin?"

Sae menyerahkan setumpuk soal sejarah pada (Name), ia telah menyelesaikannya--akhirnya.

"Wow," decak kagum langsung (Name) lantunkan seraya menerima soal-soal itu. Segera saat itu ia mengoreksi hasil jerih payah sang jejaka berwajah datar.

Nahas, hanya berselang tiga menit sampai (Name) mengembalikan kembali kertas soal itu. "Kerjakan ulang halaman ketiga sampai kelima."

Bagai sudah menduga, Sae hanya mengembuskan napas lelah dan menerima kembali kertas soal, tetapi ada sirat kekecewaan pada matanya yang sayu.

"Rasanya seperti membohongi banyak orang," umbar Sae tiba-tiba.

Sang gadis hanya menatap dan menunggu jejaka di depannya melanjutkan.

"Mereka pikir aku sempurna, nyatanya aku tengah membuat seseorang repot-repot mengajariku."

Barulah (Name) kembali angkat bicara, "Aku tidak keberatan sama sekali." Ia meraih beberapa kertas soal. "Anggaplah aku pun tengah me-review pelajaran, jadi jangan membebani diri dengan pikiran seperti itu."

"Kalau itu dimaksudkan untuk menghiburku ... terima kasih."

"Tapi tetap saja," tambah Sae kemudian, "Itoshi Sae si Sempurna hanya ada dalam angan-angan mereka, itu adalah sebuah realitas yang harus kuterima."

𝗟𝗨𝗖𝗞𝗬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang