"Dengan ini saya nikahkan dan kawinkan, Venusio Raden Wijaya dengan-"
'BRAK!'
"Raden, bangun! Allahu.... Ummi panggil dari tadi!"
Aku refleks melompat, jantungku berdebar bukan main, ditambah nafasku yang tersenggal-senggal seperti habis maraton, sebab terkejut ulah ummi tercinta. Gagal sudah aku melihat siapa jodohku di masa depan, padahal sebentar lagi giliranku mengucapkan sumpah suci.
"Hari libur bukan tidur doang! Bangun, bantuin Abi cuci motor atau mobil sana!"
"Si Abang sama Ade udah bangun dari tadi, udah bantuin ummi sama Abi, kamu masih molorrr.... Aja. Nggak malu Tah?!"
Si ummi kalo ngomel udah kaya sirine, ga ada jeda. Aku hanya mengangguk-angguk sebagai jawaban dengan kondisi mata yang masih enggan terbuka
"Tadi subuh Abi ke mesjid mi?"
"Iya!"
"Sama bang Dika?"
"Iya Mas..."
"Ohhh... Soalnya Raden engga mi"
Kulihat ummi mengernyit, mataku secara tiba-tiba membulat,
"ASTAGHFIRULLAH, YA ALLAH, MAAFIN RADEN. RADEN BELUM SHOLAT SUBUH!!!"
....................
"Mii... Udah atuh marahnya". Setelah tadi melewati rangkain permohonan maaf pada Yang Maha Kuasa, karena telat memenuhi panggilan-Nya dengan sangat, kini giliran aku harus meminta maaf pada Ummi yang tampak merengut sembari memotong bawang merah
"Janji ga telat lagi sholat subuh nya mi. Janji ga lagi, beneran"
Aku masih mengemis, berharap Ummi dengan lembut berkata, ya sudah ngga papa. Lain kali jangan diulangin lagi ya, mas?
'PRANG!'
'KLONTANG-KLONTANG',
Hmm, sudah lah alamat ngambek 3 hari.
"Begadang wae kerjaannya. Nggak pernah bantuin orang tua. Mau jadi anak apa kaya gitu?!"
"Presiden mi"
'PRANG!'
"Bercanda terus mas, kalau dinasehatin"
Salah lagi, padahal aku menjawab pertanyaan barusan
Ummi masih senantiasa membanting-banting perkakas dapur dan mengoceh panjang ditambah lebar dikali volume. Aku dituntut mendengarkan, padahal hati kecilku sudah tidak kuat dan ingin pergi
"Sok, kalau mau pergi. Biar Ummi jadi pembantu aja di sini, apa Ummi jadi TKW aja ya?"
"Aih, si Ummi mah.... Nanti yang masakkin Raden tengkleng kambing siapa?"
Ummi bergidik bahu, acuh dan masih terus memasak. Menumis bawang merah, bawang putih dan cabai. Aromanya menusuk hidung membuatku bersin berkali-kali
"Sana, beresin taman aja! Daripada diem di sini kaya patung Pancoran!"
"Keren dong mi?"
"Radeennn...."
"I-iya engga mi. Bercanda"
Aku memberi gestur hormat layaknya tentara yang akan menjalani tugas. Kemudian aku keluar dari dapur dengan bangganya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa
Kudapati curut kesayangan Ummi tengah menatapku dengan tertawa, siapa lagi kalau bukan, Marshanda Reinika Wijaya. Dengan kemoceng di tangannya dan kain lap kotak-kotak merah di punggungnya, sangat cocok untuk dia casting pemeran pembantu di FTV
"Nih biasanya kalau di FTV nih ya, modelan Lo begini yang bakal jadian sama majikannya"
"Semprul! Lo ngatain gue pembantu?!"
"Lho, emang gue bilang? Orang situ ngaku sendiri"
Kain lap tadi meluncur dari tangan Nanda tepat mengenai wajahku yang tampan pari purna seperti Jung jaehyun. Soalnya kain lap ini bau. Berdebu. Kurang ajar
"Anjing!"
"UMMI, MAS RADEN NGOMONG ANJING!"
Nah kan, gimana ga kesayangan? Orang Cepu begini
Suasana di halaman depan rumah lumayan ramai oleh para tetangga yang juga mencuci kendaraan pribadinya masing-masing. Si Abi juga ikut-ikutan, nyuci blacky nya sampai kinclong mengkilap. Dan tampaknya juga sudah hampir finishing. Buat yang penasaran blacky siapa, itu motor Abi yang dibeli dari lahir Nanda sampai sekarang masih belum mau ganti. Sesayang itu Abi sama blacky, dibanding aku yang anak sendiri
Saat aku tengah diam berdiri mengamati Abi mengelap badan blacky, sebuah tangan menepuk pundakku pelan. Lagi-lagi aku melompat kaget, ah, kenapa orang-orang hobi sekali membuat Raden terkejut ya Allah??
Bang Dika tengah tersenyum layaknya ondel-ondel di hadapanku. Firasatku tidak enak, sepertinya aku akan dijadikan tumbal. Tak lama kemudian, curut kesayangan Ummi muncul dari belakang tubuh bang Dika. Wah, sepertinya aku benar-benar akan dijadikan tumbal pesugihan mereka
"Nape Lo berdua senyum-senyum gitu?" Tanyaku menantang. Sebenarnya takut
"Nan, ini yang baru bangun?"
"Iya bang, kita udah comot-comot gini dia baru napas"
"Gimana kalau sisa kerjaan kita dia yang ngerjain?"
Bang Dika tersenyum miring, tangannya ia letakkan di pinggang, uy gayanya macam top model
"Apa? Lo mau gue ngerjain apa?"
Untuk seperkian detik, Nanda dan bang Dika saling tatap, kemudian melempar senyum jahat. Aku ini sekarang layaknya snow white dihadapan nenek sihir. Nenek sihirnya 2, yang kemudian aku diberi sebuah apel merah beracun. Kemudian karena aku pintar, aku menyuruh mereka memakannya terlebih dahulu dengan alasan aku lebih suka makan bekas orang lain. Dan akhirnya dua nenek sihir ini yang pingsan selama 100 tahun. Tidak, bukan saatnya merubah alur cerita Raden
Bang Dika merangkul ku, yang merupakan bukan pertanda baik, berbisik tepat di telingaku, kemudian menyerahkan sapu dan kawan-kawannya, agar berada dibawah kepemimpinan jendral Raden. Keren juga
"Bang, gila Lo sebanyak ini?"
Kalian tau apa saja yang harus aku kerjakan? Menyapu taman bekas bang Dika memotong rumput, mengelap jendela depan yang tinggi dan besarnya bukan main. Ini sebenarnya pekerjaan curut, tapi dia beralasan Nanda gak nyampe mas... Kan mas Raden tinggi pol
Halah. Ada batu dibalik udang. Lanjut lagi, aku masih harus mengepel, kemudian menyapu setelah mengepel. Menyirami tanaman-tanaman kesayangan Ummi dan sekelompok bunga mawar kesayangan bang Dika. Dan terakhir, memberi makan dan membersihkan kandang molly. Anabul yang bertingkah layaknya majikan.
"Bang, gue ga bisa kalo berhadapan sama tai si molly". Rengekku pada bang Dika yang mulai melenggang pergi bersama Nanda dengan tertawa penuh kemenangan. Aku semakin yakin, kalau sebenarnya aku lah anak tiri di keluarga ini. Suatu ketidakadilan
"Bang?"
"Kerjain aja Den... Kalo Lo ikhlas, insyaAllah pahala"
Dan setelah itu aku benar-benar ditinggalkan di teras rumah bersama sejuta kekesalan dan tumpukkan pekerjaan yang menanti
"Ya Allah, semoga jodohku nanti yang kaya Giselle aespa ya Allah"