Pada Gedung

12 3 3
                                    



Hope you like this...



***


Aku tidak melupakan bagian bahwa manusia memang harus bersekolah. Hanya saja, aku melupakan di mana sekolahku. Ibu sempat mengantarku pergi ke rumah seorang teman, katanya dia teman dekatku, tetapi aku tidak ingat. Namanya Syafa. Dia cantik, aku suka dengan rambutnya yang bergelombang dan lebat, juga kulitnya yang bersih. Sebab dia terlalu cantik dibanding diriku, kurasa dia yang seharusnya menjadi pemeran utama.

Syafa lebih pendek dariku. Tubuhnya mungil sekali sehingga ketika ia berjalan rambut bergelombang itu akan nampak melambai-lambai. Setiap kali ia mengerling, aku terpesona dengan bulu matanya yang lentik alami. Aku sama sekali tidak percaya bahwa aku bisa berteman dengannya. Kutebak, ia adalah siswi favorit di sekolah.

"Enggak, kok." Jawabnya ketika aku menebak demikian. 

"Justru kamu, Meg, yang jadi favorit di sekolah."

Aku melihat tubuhku sendiri dari ujung kaki hingga sebatas tangan. Syafa berbohong. Aku tidak memiliki kulit seputih Syafa, aku tidak memiliki rambut bergelombang secantik Syafa, dan juga kupastikan aku tidak memiliki kerlingan mata seindah Syafa.

"Bohong."

"Kamu lagi nggak ingat aja, Meg. Kalau ingat pasti beda." Ia menjawab acuh tak acuh.

Aku terdiam. Berjalan bersama Syafa tanpa bertanya-tanya kapan kita akan tiba di sekolah. Syafa terasa begitu asing bagiku meskipun ibu bilang kita teman dekat. Bahkan jika dipikir-pikir sejauh apapun aku melupakan semuanya, pasti yang namanya sebuah ingatan paling tidak masih bisa kurasakan. Sebab pada hilangnya sebuah momen, tak lantas ingatan itu raib selamanya. Ia sama sekali tak tersenyum kepadaku bahkan saat ibu pertama kali mengantarkanku ke rumahnya, menjelaskan bahwa aku melupakan segalanya. Dia cantik, tapi wajahnya galak. 

Tepat lima menit sebelum pukul tujuh, aku tiba di depan gerbang yang membatasi pada sebuah gedung setinggi tiga lantai. Banyak anak-anak yang memakai seragam putih abu-abu turun dari angkutan umum, motor, ojek, atau kendaraan pribadi masih-masing. SMA SAMASTA BUANA. Balok-balok huruf itu terangkai pada lengkungan besar di atas gerbang dan membentuk kata demikian. 

Aku terdiam mendapati beberapa siswi yang menyapaku; dan aku tidak tahu mereka siapa. Sesekali kulirik Syafa yang juga diam. Aku bertanya-tanya, bagaimana pertemananku dengan Syafa berjalan sebelumnya?

Kepingan puzzle rentetan cerita hidupku hancur lebur. Entah ini sebuah bagian terburuk atau bagian yang perlu kusyukuri. Orang-orang itu tidak kukenal, tetapi aku pernah mengenalnya. Bagaimana jadinya kalau mereka tahu bahwa aku melupakan mereka? Melupakan guruku? Melupakan seluruh materi pelajaran yang mati-matian untuk kukuasai?

Kisah hidupku yang semestinya berjalan sederhana dihancurleburkan oleh kejadian sialan. Kakiku gemetar, aku ketakutan, aku tak siap melangkah memasuki pintu gerbang. Siapa aku? Mega. Mega saja? 

"Mega Mendung J.S." Spontan kepalaku menoleh ke suara itu.

"Lain kali name tag di seragammu baca." Syafa, dia berjalan maju meninggalkanku yang masih mematung. Untuk kesekian kalinya aku bertanya-tanya, apakah benar kita seorang teman dekat?

Mega MendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang