Perihal Bumi

14 2 3
                                    


Hope you like this...


***

Perihal Bumi yang pertama; dia tampan.

Dalam riuh rendah itu aku melihatnya. Bersinar dan berpendar di tengah-tengah keramaian. Kata Syafa, itu yang namanya Bumi. Dia bukan seorang murid peringkat atas dengan penampilan culun, tak berkacamata kotak, tak memakai earphone yang senantiasa menyumpal telinganya di antara kerumunan orang, dan hal semacam itu yang sebelumnya kupikirkan. Dia seperti murid biasa pada umumnya dan; tampan. 

Jantungku berdegup hebat ketika tanpa aba-aba Syafa memanggil namanya dengan nyaring. Dan kuharap suatu saat aku akan melakukan hal yang sama. Dia melihat ke arahku dan Syafa, tersenyum, mengabaikan barisan antrean makanannya hanya untuk sekedar menghampiri kami. Betul, kami. Sebelum aku menyadari bahwa pandangan Bumi hanya tertuju padaku.

Padaku?

"Hai," 

Dia tak sedang berbicara denganku, bukan?

"Hei? Mega?" Aku hanya diam, sebelum Syafa mengguncang-guncang tubuhku. 

"Ini Bumi. Kenapa, sih, kok melamun?" Aku terhenyak oleh pertanyaan Syafa. Bumi memandangi Syafa dan aku dengan bingung. Seolah seperti bertanya apa yang terjadi. Syafa memberikan satu isyarat kepada Bumi berupa anggukan, yang tak ku mengerti apa itu artinya. Sementara Bumi, dia tersenyum, seperti menyadari sesuatu.

"Aku Bumi." 

Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangan. Haruskah aku menjabat tangan itu? Membiarkannya berkenalan denganku lagi meskipun kita sudah saling mengenal? Ah, pastilah ia menyadari bahwa aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Aku sama sekali tak mengenal Bumi. Payah, seharusnya ini akan berjalan lebih mudah jika aku tak melupakannya.

"Mega Mendung."

"Cantik. Seharusnya namamu Mega Cerah saja."

Dan Bumi sesaat tersenyum menatapku. Aku tak pernah mengerti mengapa sebuah senyum menjadi begitu indah. Cantik. Seperti apa yang diucapkannya mengenai namaku. Iya, hanya namaku. Sebab aku tak begitu percaya diri apakah kata 'cantik' itu untuk wajahku, dan semacamnya. Sebab sesuatu butuh keyakinan; aku tak merasa cantik, dan aku yakin dengan hal itu. 

Sementara keyakinan tentang apa yang ada pada diri,  itulah yang dilihat orang lain. Dan pasti orang lain; termasuk Bumi, memandangku sesuai dengan apa yang kuyakini. 

"Kamu sama cantiknya dengan namamu."

Ah, sebuah kalimat yang kuduga akan keluar. Aku tahu pasti bahwa itu adalah suatu kata yang lumrah terucap apabila seseorang baru saja bertemu. Benar, basa-basi. Dan Bumi juga sedang melakukan itu, kurasa.

Sial, aku sama sekali tak mengenalnya. 

Harus seperti apa aku mendeskripsikan Bumi? 

Sempat tidak kupahami mengapa desir angin begitu lembut seolah menyenyapkan segala kebisingan. Mungkin itu salah satu bentuk bagaimana sebuah pikiran yang terlalu mendramatisir berkerja. Aku hanya tersenyum, menghirup udara yang sebetulnya berbau apak dengan penuh suka cita.

Dia Bumi; dan aku sudah berkenalan dengannya.

Perihal Bumi mungkin akan sedikit banyak. Sebab mataku memang tak ingin luput untuk melepaskan pandangan darinya. Mungkin sebenarnya dia risih sebab aku terlalu berlebihan. Akan tetapi, sejak kami bertemu dia sama sekali tak henti-hentinya tersenyum, dan sesekali memerlihatkan deretan gigi rapinya.

Mega MendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang