citatrices ; 00

2.3K 145 1
                                    

Hasel ragu untuk sekedar menampaki kakinya di depan gerbang kediaman mansionnya. Pikirannya sudah tidak enak. Apalagi handphonenya yang tiba-tiba mati karena kehabisan daya.

Papa pasti akan marah besar padanya karna tidak memberi kabar sama sekali sedari pagi sampai malam menjemput. Hasel cemberut, dia iri dengan teman-temannya yang leluasa bisa bermain tanpa harus ijin atau malah larangan yang didapat.

Tapi tidak dengan Hasel, yang memang sudah ditempatkan di sekelilingnya bodyguard sedari kecil. Jujur, Hasel kesal, sekali. Dan papa hanya menjelaskan kalau di luar sana tidak akan aman untuknya.

Hasel tentu merasa terkekang dengan semua larangan papa. Hasel yang sedari kecil tidak bisa sembarangan bermain dan berteman membuat Hasel kecil jarang bergaul dengan teman sebaya.

Terkecuali Rasi, Leo, dan Jema yang memang sudah ada di sekelilingnya sedari kecil. Mereka awalnya bersahabat bukan berdasarkan kepedulian, namun melainkan orang tua mereka yang memiliki kerja sama dalam perusahaan membuat keempat anak itu semakin dekat.

Tapi lambat laun pertemanan mereka semakin lengket. Mereka sudah seperti saudara yang saling menjaga. Hasel sadar, dirinya hanya memiliki mereka yang bisa dijadikan sanggahan.

Hasel menghembuskan napasnya berat. Dia harus segera masuk ke dalam rumah yang sudah seperti kerajaan sebelum semuanya akan semakin kacau.

Tapi belum juga langkah Hasel sampai di depan kamarnya, papa sudah lebih dulu duduk di ruang tamu seperti biasa menunggu dirinya pulang.

Hasel menunduk takut dengan netra yang sudah bergetar. Melihat putra bungsunya sudah menampakkan kaki di ruang tamu. Jordan langsung beranjak menghampiri Hasel dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

"Dari mana?" Tanya Jordan tanpa basa basi.

Namun tentu tidak segampan itu mendapat jawaban dari bibir pluem sang putra. Hanya getaran halus yang menyelimuti tubuhnya.

"Hasel papa tanya, dari mana?" Jordan memegang tangan Hasel secara spontan membuat ketakutan anak itu semakin menjadi.

"Kamu bolos sekolah cuma buat main gak guna. Hasel, papa sekolahin kamu supaya kamu bisa jadi anak yang pinter kayak kakak kamu. Enggak kayak gitu, kamu bisa bodoh!"

Masih sama, tidak ada pergerakan sama sekali dari Hasel. Anak itu hanya menunduk dalam enggan mendongak menatap papanya yang belum padam dari amarah.

"Papa gak akan ijinin kamu mulai detik ini untuk sekolah normal lagi. Kamu semakin susah diatur. Berapa kali papa bilang untuk jangan pernah kelayapan tanpa seijin papa!?"

Rematan tangannya sedari tadi perlahan seperti kebas, perih tiba-tiba bukan main. Pandangannya mengembun menahan sakit.

"Papa—never know me!" Katanya serak dengan mata berkaca-kaca.

Jordan terpaku sebelumnya dengan pandangan masih menajam, "Apa yang papa gak tau? Hasel yang gak pernah tau!"

"Papa gak sadar selama ini Hasel udah nuruti semua mau papa. Hasel pengen jadi Hasel bukan robot yang papa suruh ini itu selalu dilarang ini-itu. Hasel anak papa bukan sebenarnya?"

"Kamu udah mulai gak sopan sama papa?" Mata Jordan semakin menajam, tangan besar itu tidak sadar mencengkram lengan Hasel kasar sampai membuat putranya itu meringis kesakitan.

"PAPA JAHAT! HASEL BENCI PAPA!"

PLAK

Karena yang orang kira tamparan itu hanya sekedar tangan melayang menyetuh pipi dan tidak lebih, lalu sakitnya juga hanya beberapa waktu saja.

Tapi apa kalian paham sakitnya di hati hampir merubuhkan semua usahanya untuk tetap bertahan di dunia yang katanya kejam ini.

***

Halo, selamat datang di ceritaku yang sebenarnya aku buat udah lamaaa banget sebelum Fake Feeling ada. Jadi daripada nganggur aku publish aja, semoga suka, ini cerita pendek yang semoga bisa menyentuh❤️

 Jadi daripada nganggur aku publish aja, semoga suka, ini cerita pendek yang semoga bisa menyentuh❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cicatrices ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang