Part 14

37 2 0
                                    

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

Melda mendengus kesal. "Dia memberikan obat yang benar. Aku yang membawa langsung dari tangannya dan pergi ke rumah sakit untuk memastikannya. Kalau bukan kamu yang menukarkan isi obat itu, lalu siapa yang melakukannya? Syera?"

Yusar mengusap kasar rambutnya. "Kenapa kamu menuduh Syera?"

"Hanya ada tiga orang yang kemungkinan menukar obatku, yaitu psikiater, kamu, atau Syera," kata Melda.

Yusar menggelengkan kepalanya. Ia menjelaskan, "Dengarkan aku, Melda. Ada yang perlu aku jelaskan di sini...."

"Aku tidak mau mendengarkan penjelasan apa pun. Kalau kamu peduli sama aku, besok kamu sudah harus ada di rumah," ucap Melda seraya beranjak dari kursinya kemudian berlalu pergi.

Para klien Yusar menatap punggung Melda kemudian mereka menoleh pada Yusar yang terlihat frustasi.

Dalam perjalanan pulang, Melda tampak fokus menyetir. Dari wajahnya, ia masih terlihat kesal.

Jam 8 malam, Melda baru sampai di rumahnya. Ketika akan memasuki rumah, ponselnya berdering. Ternyata Edwin yang menelepon.

"Bu Melda, kenapa hari ini tidak datang ke sekolah?" tanya Edwin.

"Anak saya sakit. Karena saya panik dan sibuk merawatnya, saya sampai lupa tidak bilang, kalau saya tidak bisa masuk hari ini," bohong Melda.

"Lain kali, hubungi pihak sekolah, ya, Bu."

"Iya, Pak, sekali lagi saya minta maaf."

"Baiklah, selamat malam."

"Selamat malam."

Panggilan pun berakhir.

Sekelebat bayangan melintas di belakang Melda, membuat bulu kuduk wanita itu merinding. Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun di sana.

Melda segera masuk ke dalam rumah. Karena haus, Melda pergi ke dapur untuk minum. Ia membuka lemari gantung untuk mengambil gelas, tapi pintu lemarinya tidak bisa dibuka.

Tiba-tiba kursi di belakangnya bergeser menimbulkan suara gesekan dengan lantai. Perhatian Melda teralihkan ke kursi tersebut. Ketika berbalik ke lemari gantung, Melda terkejut melihat semuanya pintu lemari gantung terbuka lebar. Tidak hanya lemari gantung, pintu lemari lainnya juga terbuka lebar.

Karena ketakutan, Melda memilih untuk tidak jadi minum. Ia pergi menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Sesampainya di depan pintu kamar, Melda mendengar suara tangisan dari kamar Syera. Melda yang masih ketakutan mengabaikannya. Ia memilih untuk memasuki kamarnya.

Melda menutup pintu dan menguncinya. Ia membiarkan kuncinya masih menancap di pintu. Ia pun duduk di tepi ranjang sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Gantungan kunci masih bergerak-gerak menabrak pintu.

Melda melihat ke arah gantungan kunci itu. Seharusnya gantungan kunci itu sudah berhenti bergerak. Tapi, seolah ada sesuatu yang membuatnya bergerak. Tiba-tiba kuncinya terlempar ke lantai.

Melda tampak ketakutan. Ia melihat ke sekeliling ruangan kamar lalu berjongkok untuk mengambil kunci tersebut. Tiba-tiba sebuah tangan berlumuran darah muncul dari bawah ranjang dan mencengkeram erat tangan Melda.

Melda menjerit keras.

Darah segar mengalir dari bawah ranjang dan membasahi lantai. Melda berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan yang berlumuran darah itu sambil berteriak histeris.

Samar-samar terdengar suara napas yang menderu dari bawah ranjang. Kemungkinan itu adalah suara napas si sesuatu yang saat ini mencengkeram tangan Melda.

Melda semakin ketakutan. Ia menendang tangan berdarah itu kemudian ia berlari ke pintu.

Dengan tangan gemetar, Melda membuka kunci pintu kamar lalu keluar dan menguncinya dari luar. Ia menatap pintu kamarnya itu.

Obat Melda tertinggal di meja di dalam kamar tersebut. Dua hari belakangan ini, Melda tidak meminumnya. Itulah sebabnya, Melda kembali berhalusinasi.

Melda ingin mengambil obatnya, tapi ia tidak berani kembali masuk ke kamarnya. Melda bergegas pergi, tapi ia tersentak kaget mendapati Syera sudah berdiri di sampingnya.

"Sye-Syera?" Melda menyentuh dadanya yang berdegup kencang karena kaget.

Syera menatap Melda dengan tatapam datar kemudian ia berlalu menuruni tangga.

"Syera, kamu mau ke mana?" tanya Melda.

Syera tidak merespon dan tetap melanjutkan langkahnya.

Melda mendengar suara tangisan dari kamar Syera. Ia mengernyit. Ketika melihat ke tangga, Syera sudah tidak ada di sana.

Melda pun mendatangi kamar Syera. Ternyata Syera tengah terbaring di ranjangnya. Suara tangisan itu mendadak lenyap ketika pintu kamar Syera terbuka. Awalnya Melda mengira kalau Syera yang sedari tadi menngis.

Syera menoleh pada Melda yang datang ke kamarnya.

Lalu yang tadi menuruni tangga, siapa? Batin Melda.

"Kamu sudah makan?" tanya Melda yang salah tingkah, karena ia tiba-tiba masuk ke kamar anak tirinya itu.

Pertanyaan konyol, Melda pergi dari pagi sampai malam ke luar kota, dan meninggalkan orang yang sakit sendirian di rumah. Memangnya siapa yang memasak makanan untuk Syera?

Syera tidak merespon. Ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar.

"Maaf, tadi saya pergi ke luar untuk menemui ayah kamu. Saya akan memasak untuk kamu," ucap Melda.

"Tidak perlu," tolak Syera.

Melda tidak mendengarkan. Ia memberanikan diri pergi ke dapur dan membuat bubur. Sebenarnya ia juga merasa sedikit bersalah, karena telah menuduh Syera berkali-kali atas apa yang tidak pernah dilakukannya. Melda juga merasa bersalah karena telah meninggalkan Syera yang sedang sakit selama seharian penuh.

Ketika duduk di kursi meja makan untuk menunggu buburnya matang, Melda melihat ke jendela buram. Ia melihat ada sosok yang berdiri di sana membelakangi jendela. Rambutnya yang panjang menjuntai ke tanah. Sosok itu tengah menyisir rambutnya dengan jemari tangannya.

Melda berpura-pura tidak melihatnya. Ia menutup gorden lalu membesarkan api kompor agar buburnya cepat matang.

Melda mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Langkah kaki yang basah dan pelan.

Melda mengambil sendok dan menggunakannya seperti kaca spion. Ia melihat pantulan sosok wanita berambut panjang itu berdiri di belakangnya dengan posisi terbalik.

"Kamu siapa? Kenapa kamu terus mengganggu saya?" Melda memberanikan diri untuk bertanya.

Terdengan suara cekikikan dari makhluk itu.

"Saya mohon, jangan ganggu saya dan juga... Syera," kata Melda dengan suara bergetar.

Sosok itu masih berdiri di belakangnya. Mata putihnya melotot lebar seakan-akan mau keluar.

Melda kembali bersuara, "Saya tahu, kamu pasti adalah sosok roh jahat yang mungkin saja dikirimkan oleh seseorang untuk mengganggu saya dan melukai Syera. Kalau saya atau Syera pernah berbuat salah pada kalian, saya mohon... maafkan saya. Berhenti mengganggu keluarga saya."

"Kamu pikir, semua kesalahan bisa ditebus dengan permintaan maaf?" Sosok itu menancapkan kukunya di pinggang Melda.

Melda meringis kesakitan. Darah segar keluar dari pinggangnya membasahi pakaian yang ia kenakan. Ia tidak bisa bergerak untuk menghindar.

Tiba-tiba tutup panci di atas kompor bergerak-gerak. Uap panas keluar lewat celah tutup panci disusul dengan keluarnya lelehan bubur membasahi bagian atas kompor.

Melda berdo'a dalam hati. Sosok itu pun menghilang, tapi tidak dengan luka di pinggangnya. Darah segarnya masih mengalir.

Sudah jelas kalau ini bukan halusinasi.

•───────◐◑❁❁❁◐◑───────•

21.27 | 1 Januari 2022
By Ucu Irna Marhamah

MALEVOLENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang