Olivia

2 1 0
                                    

Zee masuk ke sebuah ruangan redup yang dihiasi dengan lampu remang-remang. Suasananya lumayan horor, dan suhu di ruangan itu cukup rendah untuk membuatnya memikirkan hal-hal yang bisa saja muncul disaat-saat seperti ini.

Sibuk memperhatikan sekeliling, Zee tidak menyadari kalau resepsionis cantik tadi sudah tidak ada. Saat dia sadar, dia sudah sendiri, di ruangan asing ini.

Zee mengucapkan mantra apapun yang sekiranya bisa membuatnya lebih berani di dalam hati. Dia dengan takut-takut duduk di sebuah bangku kayu yang terlihat mewah.

Dengan nada rendah dia mengumpat, "Sial, kenapa aku sangat nekad."

Dia menatap lingkungan sekitarnya dengan was-was. Dan karena itu suara derit pintu yang engselnya sudah minta dilumasi minyak itu bisa dengan mudah menarik perhatiannya.

Zee menelan ludah, dia menatap pintu yang perlahan terbuka itu. Pintu yang jaraknya kurang dari 3 meter darinya itu terbuka sepenuhnya, memperlihatkan sebuah sosok hitam yang lumayan tinggi dengan sebuah benda aneh di tangannya.

Saat tatapan mereka bertemu, petir entah darimana menyambar langit dan keduanya berteriak.

"Akh!" ×2

Sosok itu kembali dan menutup pintu dengan cepat, sementara Zee sudah terjungkal dari kursi karena reaksinya yang terlalu berlebihan.

Sesaat kemudian, pintu itu masuk lagi dan dengan sigap membantu Zee. Zee yang awalnya akan memberontak mengamati sosok tak asing itu dengan seksama.

"Gamer jenius?" ucapnya tak percaya.

Altair menatap garang Zee.

"Apa? Kau tak percaya?"

Meski nadanya marah, dia masih tak setega itu untuk melepaskan Zee yang beratnya minta ampun.

Padahal di hari biasa dia terlihat sangat kurus, dari mana datangnya berat badannya ini?

Zee melepaskan dirinya dari Altair, dia berkacak pinggang dan mulai memarahi bocah usia tanggung itu.

"Kenapa kau disini? Siapa yang menyuruhmu datang? Bukankah kau tahu kalau ini berbahaya? Dan bla bla bla..."

Altair memutar bola matanya malas, dia menepuk debu yang tak ada ditubuhnya lalu menatap sekeliling. Dia lalu melihat jam tangan digitalnya, tak mempedulikan Zee sama sekali.

Dia menguap, lalu merebahkan dirinya ke sofa, menyamankan posisi tidurnya dan menutup mata. Zee yang melihat tingkah keponakannya itu melipat tangannya dada sambil mencibir.

"Untung keponakan."

Dia lalu duduk di kursi tunggal sambil memainkan ponselnya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu.

"Masuk."

Pintu itu terbuka, seorang pria dengan postur standar pengawal sewaan. Zee pernah melihat ayahnya menyewa pengawal, dan postur keduanya terlihat cukup sama.

Pengawal itu maju, masuk ke dalam ruangan dan bergeser, memperlihatkan sosok perempuan dengan tubuh iblis dan wajah yang terlihat seperti rubah penggoda.

Perempuan itu berjalan menuju Zee dengan angkuh, dia duduk berhadapan dengannya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap dada. Tak lupa menyenderkan punggungnya ke sandaran sofa.

Dengan wajah menggoda, dia berkata.

"Bagaimana? Mana permatanya?"

Zee memutar bola matanya malas melihat tingkah angkuh gadis rubah didepannya. Dengan ogah-ogahan dia meletakkan sebuah kantung brokat di meja lalu menarik tangannya dan ikut menyilangkan kaki.

Atlet Manis Jadi Umpan MeriamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang