0.0 confused feeling

283 1 0
                                    



Aku merindukanmu. Aku ingin bertemu.


Pesan tersebut di kirim dua jam yang lalu.

Berulang kali aku membaca deretan kalimat yang di penuhi dengan makna tersirat tersebut, rasanya masih gelisah bahkan sudah enam bulan lamanya aku memutuskan tidak menghubunginya, aku tidak dapat menyembunyikannya lagi atau bersikap acuh. Tidak untuk kali ini. Itu benar, hari-hariku kian terasa berat dan kosong tanpa lelucon konyol darinya, malamku begitu hampa tanpa pelukan dan kecupan basah yang sering ia berikan sebelum kami memejamkan mata untuk berkelana di alam mimpi.

Ya. Aku merindukannya.

Tony —si brengsek itu.

Setelah menimang-nimang dengan benar, lagi-lagi keputusan untuk mengabaikan pesannya ku rasa adalah yang terbaik, well— aku harus keluar dari lingkaran jerat setan ini. Dan aku sudah hampir berhasil. Aku hanya harus bertahan untuk tidak tergoda lagi. Terdengar cukup sederhana namun percayalah, menahan diri untuk tidak bertemu dan berkomunikasi dengannya itu tidaklah mudah mengingat kami sudah bersama sejak kecil. Aku kecanduan dengannya jika kalian tau.

Saat ini aku di untungkan dengan segudang penelitian dari universitas yang dapat membuatku berhenti mengingatnya- walau sebentar.


Terdengar ketukan yang berasal dari pintu kamarku, lalu daun pintu itu yang memang tidak tertutup dengan benar di dorong sedikit dari arah luar,

Agak terkejut ketika netra ini mengenali siapa yang muncul di balik pintu kamarku dalam cahaya yang sedikit redup karena matahari sedang tenggelam sekarang dan aku belum menghidupkan lampu manapun.

"Sharon? Kau kah itu?"

Gadis tinggi itu tersenyum hingga menampakkan giginya yang putih bersih, menggendong Jean Pierre —anjing ber ras bulldog campuran terrier yang ia titipkan sekitar dua bulan lalu di keluarga kami sebelum keluarga Arbolino pindah ke Venesia untuk sementara waktu. Ada beberapa alasan mereka tak membawa Jean untuk ikut.

"Terima kasih sudah merawat anakku—"

"—dan ya! ini aku tentu saja. Oh.. Livia kesayanganku, maaf tidak memberitahumu jika aku sudah kembali dari Venesia"

Meski rasa terkejut masih melingkupiku, aku tetap membalas pelukan dari gadis yang lebih tua dariku 8 tahun ini.

"Y-ya tidak mengapa."

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik- Sharon. Bagaimana denganmu?"

"Seperti yang kau lihat" ia tertawa renyah lalu memelukku kembali, menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri lalu membawaku berputar sedikit.

Setelah 10 detik, kami selesai berpelukan. Sharon beralih mengecupi Jean yang sempat menyalak dalam dekapannya.

"Apa sekarang kau akan menetap di Milan lagi?"

"Aku akan kembali ke Venesia di akhir pekan nanti. Kau tau? Tinggal disana seorang diri tidaklah buruk. Itu karena Ibu dan Ayahku merasa lebih nyaman berada disini. Mereka bilang— kenangan tentang masa kecilku dan Tony begitu banyak, hal itu membuat mereka murung sepanjang waktu"

Mataku membulat mendengar namanya disebut, akan tetapi aku segera mengalihkannya agar Sharon tidak berpikiran macam-macam.

"Te-tentu saja, Antonio dan Natasha sudah menjalin kasih 35 tahun lamanya di Milan. Lagipula udara di Milan lebih segar, bukan begitu?"

"Aku setuju dengan gagasan itu. Venesia tidak lain hanyalah kota kecil yang bagus untuk berjemur di pinggir pantai dan berselancar. Pastinya tidak menarik untuk orang tua seperti mereka."

Friend with Benefits : Tony ArbolinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang