Bayu Febrianto masih terjaga. Pemuda tujuh belas tahun itu masih berada di ruang tengah—berkutat dengan buku-buku pelajaran. Di dekatnya, ada sebuah kipas elektronik yang keluaran anginnya tidak terlalu kencang meskipun sudah disetel ke kecepatan paling maksimal.
Musim kemarau telah tiba. Malam ini pun terasa gerah—sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah kontrakannya yang beratap asbes makin memperburuk kondisi tersebut. Gara-gara keadaan ini, hampir setiap hari Bayu bertelanjang dada di dalam rumah.
Aku beneran pengen cepet kaya, terus pergi dari sini, gerutu laki-laki itu dalam hati sambil mengelap keringat menggunakan kaus yang tergeletak di dekatnya.
Kontrakan yang Bayu huni saat ini berada di perkampungan padat penduduk. Lokasinya cukup strategis dan harga sewanya terjangkau. Tetangganya sangat ramah. Bangunannya juga lumayan. Namun, ada beberapa hal yang membuat Bayu merasa kurang nyaman.
Yang pertama adalah panas karena atapnya asbes—seperti yang sudah ia jelaskan sebelumnya.
Yang ke dua adalah banjir ketika musim penghujan tiba. Bukan, ini bukan banjir dari sungai yang meluap, melainkan banjir akibat genangan air hujan yang tidak bisa mengalir keluar karena drainase komplek perumahan yang sangat buruk. Tak jarang Bayu harus menguras rumahnya apabila hujan turun berhari-hari, yang biasanya terjadi pada pertengahan bulan Desember sampai akhir Januari.
Yang ke tiga adalah dinding yang saling menempel antar rumah. Jika dilihat sekilas, tembok rumah ini memang cukup tebal, tetapi entah mengapa Bayu masih bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan tetangganya—terlebih jika suaranya cukup nyaring, seperti ketika pasangan suami-istri di sisi kiri rumah sedang bertengkar atau orang tua di sebelah kanan yang memarahi anaknya dengan cara membentak-bentak.
Laki-laki itu tidak tahu apakah tetangganya juga merasakan hal yang sama. Namun, meski begitu, dirinya sudah diwanti-wanti agar menjaga tutur kata serta nada dalam berbicara untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Bayu menoleh ketika pintu kamar yang terletak tak jauh darinya terbuka. Seorang wanita dewasa keluar dari ruangan tersebut, lalu bibirnya menyunggingkan seulas senyum manis saat pandangan mereka berdua bertemu.
“Kok belom bobok?” tanyanya sambil lalu.
“Tanggung, Mah. Bentar lagi kelar,” jawab Bayu sambil sesekali mencuri pandang.
“Udah malem, loh. Bobok aja, biar besok badannya fit buat sekolah,” saran wanita berkulit eksotis itu sesudah meneguk air dingin langsung dari botol yang baru saja diambil dari kulkas.
Beliau adalah Septiana, ibu tirinya. Perempuan yang akrab disapa Nana itu berusia 20 tahun lebih tua dari Bayu, sekaligus satu-satunya orang tua yang ia miliki usai kepergian sang ayah—entah ke mana—tepat di saat Bayu berulang tahun yang ke lima. Satu-satunya ingatan yang masih terpatri dalam memori Bayu adalah ayahnya berjanji akan membawakan mobil-mobilan sebagai kado ulang tahunnya. Namun, pria itu tidak pernah kembali.
Sampai sekarang, ibunya tidak—atau mungkin belum berkeinginan untuk—menikah lagi. Wanita yang kini berumur 37 tahun itu masih betah menjadi wali tunggal untuk Bayu. Namun, meskipun statusnya hanya ibu tiri, tetapi ia memiliki sifat bak malaikat—sangat kontras dengan gambaran sosok ibu tiri di televisi yang kejam dan jahat. Alih-alih menjauh, beliau justru memilih untuk terus bertahan di sisi Bayu. Perempuan itu menjaga dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang seperti anak sendiri.
Sifat gigih serta semangat pantang menyerah yang ibunya miliki dalam menjalani hidup juga benar-benar luar biasa. Sudah 12 tahun Bayu menjadi saksi betapa kerasnya perjuangan sang ibu; merangkap beberapa pekerjaan, jatuh sakit karena kurang istirahat, serta tetap tersenyum menghadapi cibiran tetangga yang menyakitkan hati. Wanita itu benar-benar hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Yang Kamu Lakukan Saat Aku Tidur?
RomancePERINGATAN!!! Tulisan ini mengandung materi dewasa (seksualitas dan bahasa yang vulgar). Mohon bijak dalam memilih bacaan.