Tiga

15.2K 49 0
                                    

  Ah, sialan, ini enak banget.

  Nana menggigit bibir dan menengadahkan kepala saat Bayu memberikan rangsangan pada lehernya; menciumi, mengendus, serta menjilati permukaan kulitnya—hanya beberapa detik setelah mereka melakukan ciuman yang memabukkan. Di atas pangkuan putra tirinya tersebut, tak terhitung berapa banyak desahan dan lenguhan Nana yang lolos karena cumbuan Bayu.

  Sentuhan demi sentuhan Bayu yang intens benar-benar membuat Nana ingin menyuarakan kenikmatan yang dirasakan. Meskipun demikian, ia tidak bisa sembarangan melakukan hal itu. Keduanya sudah sepakat untuk tidak terlalu ‘berisik’ di waktu yang sudah lewat tengah malam. Suara yang agak keras sedikit saja bisa dengan mudah memecah kesunyian—dan tembok rumah kontrakan mereka yang saling menempel dengan tetangga bisa membocorkan segala rahasia kapan saja. Jadi, ketika Nana merasa keenakan hingga ingin berteriak, memekik, atau menjerit, ia akan membenamkan mulut pada leher Bayu sebagai gantinya.

  Kemudian, setelah menjamah leher Nana, kepala Bayu bergerak agak ke bawah. Kali ini, sepasang aset Nana yang berukuran 34 D menjadi tujuan pemberhentian selanjutnya. Usai menurunkan tali kecil tanktop yang dikenakan Nana dari pundak hingga melewati lengan, laki-laki itu menatapnya dengan pandangan yang membuat Nana merona.

  “A–apa?” tanya Nana.

  “Kamu cantik banget,” bisik Bayu tanpa berkedip.

  “Makasih.”
  “Bodimu seksi.”
  “Iya.”
  “Tetekmu bagus.”
  “Aku tahu.”
  “Memekmu–”

  “Udah,” potong Nana sambil menyurukkan jari telunjuknya ke bibir Bayu untuk mencegah laki-laki itu berbicara lebih lanjut. Pipinya terasa panas. Dadanya berdebar cepat. Entah mengapa, sejak ia menyuruh Bayu untuk bersikap santai dan memperlakukan Nana sebagai wanita—bukan seorang ibu—untuk mencairkan ketegangan, garis batas di antara mereka berdua justru kian memudar. Bayu tidak lagi sungkan dalam melakukan sesuatu ataupun berkata-kata. Laki-laki itu mengabaikan honorifik Mamah dan memanggilnya Nana, serta melontarkan pujian berbau seksual—seperti yang baru saja ia lakukan.

  “Selain pinter ciuman, ternyata kamu juga pinter ngegombal pake kata-kata yang jorok.”

  Bayu tertawa. “Makasih,” ucapnya enteng.

  “Itu bukan pujian.” Nana mendesis, kemudian mencubit perut putranya.

  “Aw! Sakit, Sayangku,” bisik laki-laki itu dengan gestur tubuh yang berlebihan.

  Kali ini giliran Nana yang tertawa. Selagi perempuan berambut panjang itu memikirkan kata-kata untuk mendebat putranya lagi, tahu-tahu Bayu sudah mendekapnya dan merebahkan tubuh Nana di atas kasur busa. Sebelah tangan Bayu terulur untuk mengambil sebuah bantal, kemudian menyelipkannya di bawah kepala Nana.

  Laki-laki itu lalu membungkuk untuk mencium bibir Nana lagi. Sebelah tangannya yang bebas bergerak ke bawah, membelai kewanitaan Nana dari luar celana dalam tipis yang telah basah. Sambil terus bertaut lidah dan bertukar ludah, gerakan tangan Bayu yang lihai mengantarkan Nana ke ambang orgasme—apalagi saat jemari Bayu menyentuh kulit vaginanya melalui celah cawat bagian selangkangan.

  Setelah itu, semua terjadi begitu cepat. Tanpa permisi, jari tengah Bayu menyibak bibir vagina Nana, kemudian ‘mengobok-obok’ liang sanggama itu dengan lembut. Sesekali, belaian Bayu pada klitorisnya membuat Nana menegang. Nana kehabisan kata-kata; cara Bayu menyentuhnya benar-benar natural. Putra tirinya itu seolah telah mengenal organ Nana yang paling pribadi. Sesaat kemudian, bersamaan dengan sentuhan Bayu pada g-spot-nya, Nana seperti disengat dengan kekuatan hebat tak kasat mata. Tubuh perempuan itu bergetar, lengannya memeluk Bayu seerat mungkin, lalu ia menggeram—sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak memekik, menjerit, atau apa pun itu.

Apa Yang Kamu Lakukan Saat Aku Tidur?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang