Bagian 3

159 30 5
                                    

happy reading~

Malam itu terasa sangat dingin, berjalan keluar tampa mengenakan jaket bukanlah pilihan yang bagus, tapi Ayud melakukan itu. Memilih tetap berjalan tanpa peduli bibirnya yang memucat karena kedinginan.

Bintang maupun bulan tidak terlihat, gumpalan awan hitam menghalangi mereka, sehingga nuansa dinginnya semakin menjadi-jadi. Pemuda berparas manis dengan tubuh kurus itu tidak mau berbalik arah untuk pulang ke rumahnya, dia terlihat lebih menikmati kedinginan ini.

Dan bahkan dia berharap hujan deras akan turun.

Meski bibirnya pucat, namun matanya terlihat memerah, ahhh bukan itu sembab. Bahkan hidungnya terlihat merah juga. Pemuda manis itu baru saja menangis. Tidak salah jika rasa dingin bagai kutub utara ini tidak membuatnya getir.

Bukan masalah serius. Lagi pula untuk seorang introvert sepertinya masalah apalagi yang ia punya selain... Adrian?

Seperti yang di katakan Adrian tadi siang, pemuda yang tingginya hampir sama dengan Ayud itu memilih untuk tidak pulang dengan alasan ingin menginap di rumah Matthew, teman sekelas mereka berdua. Sehingga kost terasa kosong, dan Ayud mulai berperang dengan pikirannya sendiri dan berakhir menangis seperti sekarang.

Sudah lama ya. Sudah lama semenjak Ayud merasakan rasa suka ini, dan ternyata dia masih begitu hebat untuk menyembunyikannya. Menangis sambil berjalan di malam hari seperti ini sudah biasa baginya semenjak ia menyadari perasaannya pada Adrian.

Alay? Berlebihan? Oh tuhan, siapa yang tidak sakit hati ketika kalian mencintai seseorang dan orang itu adalah seorang pemain wanita? Hampir setiap jam kalian akan memakan hati karenanya. Dan yang lebih parah lagi, orang itu malah memperlakukan kalian dengan special. Seperti kalian di terbangkan, lalu di jatuhkan, lalu di terbangkan lagi, dan dijatuhkan lagi.

Ayud jadi merindukan sepuluh tahun yang lalu, saat dirinya masih berada di bangku sekolah dasar. Saat tidak ada kata cinta ataupun orang lain di antara mereka.

Saat itu, Adrian kecil masih lebih pendek darinya, badannya sedikit berisi, dan dia sangat suka memakan bekal milik Ayud. Tapi Ayud tidak pernah melarang, bahkan ibunya selalu membuatkan makanan lebih agar nantinya Ayud bisa membagikan makanan itu ke Adrian.

Adrian bukan orang yang miskin, bahkan saat sekolah dasar, itu merupakan masa kejayaan orang tuanya. Tapi karena masa kejayaan itu, Adrian harus menghadapi masa kecil tanpa banyak kasih sayang, seluruh makanan yang dia bawa kesekolah memang mahal, tapi itu semua hanya makaan yang di beli pada restoran-restoran mahal. Tidak ada kasih sayang dalam makanan tersebut. Hanya nasi dengan sepotong ayam lalu daun selada yang melapisi.

Berbeda dengan Ayud, sekalipun kotak makannya terlihat usang, sekalipun hanya sebatas perkedel dengan sayur-sayuran yang mengelilingi, tapi kasih sayangnya begitu terasa. Bagaimana perkedel itu di sulap menjadi bentuk hati, bagaimana sayur-mayurnya begitu tertata rapi, dan bagaimana saos yang awalnya terlihat biasa saja sekarang terlihat begitu istimewa hanya karena di taburi di atas nasi membentuk wajah tersenyum.

Ayud merindukan moment itu, ketika dia berlarian dari gerbang menuju kelas dengan membawa dua buah kotak makan bertumpuk, dan wajah semangat Adrian yang berada di kelas menunggunya.

Dia merindukan ketika Adrian dengan antusias membuka bekal itu dan mulai makan bersamanya di taman sekolah, di bawah pohon rindang yang entah bagaimana terasa jauh lebih menyejukan ketika bersama Adrian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rewrite Our Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang