Sepenuhnya Tidak Tergapai

38 3 4
                                    

Aku menghela napas berat ketika mata kami beradu satu sama lain. Hanya sekilas sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Masih dengan debaran jantung yang sama, tapi kali ini terselip sesak yang kentara.

"Ra, masih hobi memperhatikan dia dari jauh?"

Suara tersebut mengalihkan atensiku ke samping hingga menemukan Ana di sana dengan ekspresi muak.

"Aku yakin kamu tahu jawabannya." Lagi-lagi aku menghela napas berat, membuat Ana sontak mendengus keras. Sepertinya ia jengah dengan jawabanku yang tidak pernah berubah atas pertanyaan yang sama selama tiga tahun belakang ini.

Setelah tidak ada tanggapan lagi dari Ana, aku kembali memusatkan atensi pada sosok yang tadi tatapannya terjamah oleh mataku.

Pada cowok berseragam putih abu-abu lengkap dengan sepatu kets perpaduan warna hitam dan putih. Cowok yang kini tengah bergurau dengan teman-temannya di barisan paling depan. Sesekali ia tertawa, hingga berhasil membuat bibirku ikut menyunggingkan senyum.

Namanya Gaga. Sejak awal masuk sekolah menengah atas, kami berada dalam satu kelas yang sama. Aku ingat jelas bagaimana kesan pertama kali yang ada di benakku saat melihatnya. Konyol.

Berkat kekonyolan itu, dalam satu minggu pertama masuk sekolah, ia sudah mencetak track record dipanggil ke ruang BK untuk mendapatkan peringatan. Untuk diriku yang tidak menyukai hal berbau ribet dan sangat menghindari masalah, tentu saja aku memilih menjauh. Sehingga kami baru saling mengenal di pertengahan semester satu, itupun terpaksa karena harus bekerja di satu tim untuk menyelesaikan tugas matematika.

Sejak saat itu, aku tahu ternyata di balik segala tingkah absurdnya yang nyaris seperti kehilangan urat malu, dia memiliki kapasitas otak yang mumpuni. Hingga sederet kesan baik lainnya ikut membuyarkan perkiraan burukku tentangnya. Ia sosok yang hangat, ramah, humoris, dan tahu waktu. Seakan-akan ada setting khusus dalam dirinya yang memberi alarm kapan harus serius dan kapan bisa bertingkah 'gila'.

Tidak sampai di sana, penilaian jelekku benar-benar terpatahkan ketika aku mendengar namanya disebut dalam daftar penerima peringkat dua parallel di sekolah kami. Awal di mana kagum itu muncul tanpa permisi.

Memasuki tahun ajaran baru, ternyata kami dipertemukan lagi dalam satu kelas. Entah sebuah keberuntungan atau justru kesialan, ternyata tempat duduk kami berdekatan. Membuat obrolan dan diskusi kami berlangsung semakin intens.

Dalam fase yang mulai nyaman, rasa kagumku sepertinya sudah berubah. Aku menyukainya. Menyukai senyumannya, suara tawanya, topik candaannya, kekonyolan dari tingkah lakunya, caranya mengambil start untuk berbicara, ekspresinya saat serius pada beberapa hal, dan tatapannya saat melihat ke arahku. Singkatnya, aku menyukai segala hal dalam dirinya.

Hari demi hari berlalu dan waktu berganti, kami tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa berbincang. Dari yang awalnya hanya berkutat pada mata pelajaran, lama kelamaan mulai terselip cerita pribadi. Seperti tidak memiliki sekat, bahkan beberapa kali aku mendengar gombalan darinya. Sesuatu yang berhasil membuat darahku berdesir hebat dan kupu-kupu seperti terbang di dadaku.

Aku menganggap apa yang ia berikan itu spesial. Perlakuannya terlalu indah sampai aku berpikir bahwa dia mungkin juga menyukaiku.

Sampai pada suatu waktu, aku melihat dia berlaku hal yang sama kepada cewek lain. Pada sosok yang jauh lebih baik dalam segi apa pun dibandingkan diriku. Kemudian tibalah masa dimana kecewa itu hadir dan harapanku hancur berkeping-keping. Mungkin aku memang terlalu percaya diri sampai melupakan fakta jika Gaga tipe yang easy going sehingga bisa dekat dengan siapa pun. Jika dipikir-pikir sepertinya aku satu di antara mereka yang berhubungan dekat dengan Gaga. Dan di detik itu, aku mendeklarasikan diri untuk tidak mau lagi berurusan dengannya.

Sepenuhnya Tidak TergapaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang