Baby Sitter o2

2K 63 4
                                    

Baby Sitter [2. Sebuah Ancaman]

♣︎♣︎♣︎

Ancaman dari pria tak dikenal itu kembali menghantui Gilsa. Kali ini ancaman itu masuk melalui ponsel pribadinya, sebuah pesan beserta gambar dikirim oleh nomor asing.

Isinya kurang lebih seperti; Dalam satu bulan ini, jika kamu masih tetap tidak mengikuti aturan yang saya kasih, maka siap-siap rumahmu saya bakar.

Sedangkan gambar yang dikirim itu sepertinya diambil dari depan rumah. Sebuah potret rumah sederhana, namun tidak sesederhana isinya. Meski banyak kenangan buruk yang pernah terjadi disana, namun Gilsa juga tidak ingin kehilangan rumah masa kecilnya. Yang membuat Gilsa sedikit marah ialah ketika dalam foto itu terdapat seluruh keluarganya, Ayah, Ibu dan adik-adiknya, tampaknya mereka sedang duduk diteras rumah.

Gilsa benar-benar takut pria tak dikenal itu sungguhan menghancurkan keluarga kecilnya.

"Gilsa, kamu sudah bangun, nak?" terdengar suara Bunda Naila dari luar kamar.

Gilsa segera mengubah layar ponselnya menjadi gelap, kemudian menyimpan benda pipih itu diatas nakas. Bergegas menghampiri pintu dan membukanya. Wajah Bunda kini sudah menyapa indera penglihatannya.

"Udah mulai masak, ya Bun?" biasanya pagi-pagi seperti ini Gilsa akan membantu Bunda dan orang dapur memasak. Mengisi waktu luang sebelum anak-anak panti bangun.

"Sudah. Tapi Bunda mau minta tolong sama kamu buat ke pasar. Belanja. Bisa nggak?"

Gilsa sontak mengeluarkan kekehan. "Ya bisalah, Bun. Gilsa udah bertahun-tahun kerja disini, tapi Bunda masih sungkan nyuruh-nyuruh... padahal kan Gilsa kesini ya memang kerja Bun," Gilsa kemudian berbalik hendak masuk lagi, ingin mengambil jaket dan kunci motor. Namun diantara itu, dia masih bisa mendengar suara Bunda Naila membalas ucapannya.

"Kerjaanmu kan cuma jaga anak, Bunda sedikit sungkan buat nyuruh kamu ini-itu jika tidak berkaitan dengan pekerjaan utama kamu. Bunda takut bikin kamu kelelahan dan akhirnya pindah kerjaan," ungkap Bunda Naila.

"Ya ampun, Bun!" Gilsa sudah mengambil apa yang dirinya butuhkan dan kembali berdiri berhadapan dengan Bunda Naila. "Udah dari lama Gilsa pindah kerjaan kalau memang karena itu. Buktinya?... Gilsa masih tetap bertahan disini, tetap sama Bunda jaga anak-anak, dan sudah bertahun-tahun pula Gilsa disini. Bunda nggak usah sungkan lagi lah."

Perkataan itu pun menghadirkan tawa kecil dari Bunda Naila. Beliau pun menepuk pundak Gilsa. Tampak bangga terhadap sosok Gilsa. Tidak pantang menyerah dan kalau dipikir-pikir kembali, sudah banyak pekerja yang keluar masuk ditempatnya, tapi hanya Gilsa sendiri yang mampu bertahan selama bertahun-tahun. Maka itu diantara pekerja lain yang ada disini, Bunda Naila sangat mengandalkan dan mempercayakan segala sesuatunya pada Gilsa. Bunda Naila sudah menganggap Gilsa seperti anak kandungnya sendiri.

Itulah yang membuat Gilsa sangat betah bekerja disini. Gajinya memang tak seberapa tapi Gilsa merasa itu sudah lebih dari cukup. Apalagi disini dia tak perlu memikirkan pembayaran lain seperti; uang kos, listrik, makan dan lain-lain, sebab Gilsa tempat tinggal disini gratis, makan juga ditaggung. Gilsa cukup menyiapkan tenaganya saja untuk membantu Bunda Naila.

♣︎♣︎♣︎

Langit sudah terang ketika Gilsa baru saja pulang dari pasar. Karena pasar tidak terlalu ramai tadi, jadi Gilsa bisa leluasa memilah bahan sayur dan daging yang fresh. Setelah memastikan motornya terparkir dengan baik, Gilsa turun kemudian membawa serta barang belanjaannya. Siapa sangka Gilsa malah mendapati Bunda Naila sedang berbincang dengan pria berbaju hitam didepan teras.

Semakin jarak antara mereka menipis, semakin jelas pula perbincangan mereka terdengar oleh Gilsa.

"Saya tidak ingin mendengar alasan lain. Seluruh biaya proses dan persiapan akan ditanggung Pak Akash, jadi wanita muda itu hanya perlu mempersiapkan diri mulai sekarang. Saya pamit."

Pria berbaju hitam, berpostur tinggi besar itu kemudian berbalik. Kebetulan sekali tatapan keduanya bertemu. Hanya satu detik sebelum Gilsa lebih dulu mengalihkan tatapan. Menatap Bunda Naila yang berdiri kaku didepan teras. Kepala Gilsa kembali menoleh ke belakang, penasaran kemana pria baju hitam itu pergi. Sayangnya dia sudah kehilangan jejaknya.

"Ada apa, Bunda?" Gilsa bertanya, kantong belanjanya dia letakkan di lantai. Berat juga membawa kantong itu padahal jarak motornya terparkir kesini cukup dekat. "Tadi itu siapa? Baju sama badannya kok menyeramkan banget."

Seolah tersadar, Bunda Naila buru-buru memberikan senyum penenang, meski sia-sia lantaran Gilsa tidak bereaksi demikian. "Ayo, buru bawa ke dalam. Kamu nggak usah bantu masak aja ya, kamu bantu anak-anak aja, mereka kayaknya udah bangun."

Meski Gilsa sangat penasaran ingin tahu siapa pria berbaju hitam tadi, nyatanya dia mampu menjaga bibirnya untuk tetap tertutup dan membiarkan Bunda Naila berjalan duluan membawa kantong belanjaannya. Nanti saja dia bertanya tentang siapa pria tadi dan apa maksud dari obrolan mereka, karena yang prioritas saat ini adalah anak balita yang tampaknya sudah bangun. Suara teriakan dan tawa mereka sampai kedengaran diluar.

Gilsa sedang berada dikamar, menyimpan jaket dan kunci motornya ketika samar-samar telinganya mendengar suara rengekan. Keningnya mengernyit, sedikit berpikir siapa kira-kira pemilik suara itu. Seingatnya dilantai dua, tidak ada anak-anak yang tidur dilantai ini. Anak-anak hanya aman bermain di area lantai satu.

Semakin lama rengekan itu berubah menjadi sebuah tangisan, Gilsa segera keluar mencari sumber suara. Langkahnya kemudian menyusuri lorong, anehnya suara itu kini mulai kedengeran jelas. Irish. Nama itu begitu saja terlintas ketika melihat dan akan melewati kamar Bunda. Tanpa ragu, tangan Gilsa terulur, membuka pintu kamar Bunda Naila.

"Ya ampun!" serunya. Langkahnya lebar mendekati ranjang, matanya melotot melihat Irish menangis dengan wajah dan tubuhnya terlilit selimutnya sendiri. Cepat-cepat Gilsa menyingkirkan selimut itu, dan kini wajah memerah Irish sudah nampak. "Sst."

Suara langkah tergesa-gesa terdengar dari luar kamar, ketika Gilsa menoleh, Bunda Naila dengan muka paniknya masuk kamar. Mereka kompak menenangkan Irish sekalian memberikan susu.

"Bunda minta tolong, kamu hangatin susu Irish. Susunya ada disana," Bunda Naila menunjuk sebuah cool bag. Dan kalau tidak salah ingat, Gilsa sempat melihat tas itu diserahkan oleh pria berbaju hitam yang dijumpainya tadi kepada Bunda Naila.

Gilsa dengan sigap melaksankan perintah Bunda Naila. Dia membuka tas itu dan mengeluarkan satu kantung Asi, kemudian membawanya keluar kamar. Tujuannya ialah ke dapur. Sampai di dapur, ternyata sudah ramai anak balita yang hendak diberi makan.

Gilsa melempar senyum hangat kala ada satu anak perempuan berumur kisaran 4 tahun, berteriak menyapanya dengan riang. Hana namanya. Balita itulah yang juga Gilsa pegang dan bantu seluruh keperluannya. Jadi mau tidak mau Gilsa dan Hana sangatlah dekat. Umumnya Gilsa dekat dengan semua anak panti, tapi dengan Hana, Gilsa merasa ada ikatan batin yang membuat mereka semakin lengket saja setiap harinya.

"Ibu!" adalah panggilan untuk Gilsa. Hana kerap kali memanggilnya demikian dan Gilsa sama sekali tidak mempermasalahkannya. Berbeda dengan anak-anak lain yang memanggilnya 'Kakak'.

"Iya. Hana makan sendiri dulu ya hari ini. Ibu mau buat susu untuk adik Irish," Gilsa berkata sembari berjalan menuju meja dapur, mengambil wadah dan termos air panas.

Setelah meniriskan wadah itu dengan air panas, Gilsa juga mencampurnya dengan air dingin sedikit agar suhunya sedikit berkurang. Gilsa kemudian mengambil satu botol susu baru, meraih spidol yang ada, lalu menulis nama Irish disana sebagai penanda siapa yang punya. Gilsa mencuci sebentar botol baru itu menggunakan air panas lalu mulai menuang susu dari kantung Asi ke dalam botol.

Sebelum berlalu, Gilsa menyempatkan diri mengelus pelan puncak kepala Hana, mengecup kemudian berbisik rendah, "Setelah makan, tunggu Ibu. Kita mandi bareng," dan Hana memberikan satu jempol dan cengiran lebar.

♣︎♣︎♣︎

TBC

Lovely author
Mei Imei❣

Baby SitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang