Chapter 01: Cinta itu di Otak bukan di Hati

39 2 0
                                    

Suara sepatu beradu dengan lantai terdengar nyaring memenuhi kantor dua lantai yang kini sunyi. Langkahnya tergesa-gesa. Bahkan mungkin berlari. Ketika sampai di depan pintu salah satu ruangan, langkah itu berhenti. Lalu suara ketukan terdengar.

Aku menghentikan aktivitasku membaca beberapa file yang tertumpuk di meja. Perhatianku tertuju pada pintu. Saat kupersilakan masuk, pintu langsung terbuka lebar. Orang yang berada di baliknya langsung menghambur memelukku.

"Ada apa lagi?" Tanyaku. Wanita yang sedang memelukku itu sesenggukan. Dia kemudian mengurai pelukannya.

"Evan selingkuh...hwaaaa..." Dia menjawab histeris. Aku memutar bola mata malas. Pasangan ini memang sangat lebay. Dikit-dikit berantem, lalu baikan. Dikit-dikit mewek, baperan lalu sayang-sayangan. Aku sampai capek mendengar curhatan keduanya.

"Sudah ada buktinya belum?" Tanyaku. Bukannya tak percaya teman nih, ya. Tapi bukan sekali dua kali Reina terpancing emosi tentang pacarnya namun endingnya malu sendiri karena semua kecurigaannya tak terbukti.

"Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri dia ketemuan sama cewek di restoran dan memeluknya." Jawab Reina diikuti dengan rengekan yang semakin histeris. Aku memijat kepalaku pening. Aku menyesal mengajaknya bekerja bersamaku. Mungkin aku perlu mencari cara untuk menanamnya di pedalaman. Jahat ya aku sebagai sahabat?

"Udah dengar penjelasan Evan belum?"

"Aku ngga sudi mendengar penjelasannya lagi. Bukti tadi sudah menjelaskan semuanya." Sahutnya setengah ngambek. Aku tidak heran karena jawabannya selalu begitu. Dan esoknya dia sudah akur lagi dengan pacarnya.

"Ya sudah. Tunggu sampai besok! Jangan sampai kamu menyesal nantinya! Pekerjaanku masih banyak, aku ngga mau lembur lagi."

"Kamu lebih mementingkan pekerjaan dibanding sahabatmu." Rengeknya sembari manyun. Aku menghela napas sabar.

"Bukan begitu sayang...kamu mau aku dimarahi sama Pak Adit karena pekerjaan yang ditargetkan belum kelar? Aku sudah sering dimarahi karena pulang terlambat." Ucapku. Reina makin manyun. "Gini aja, kalau sampai besok Evan tidak mengklarifikasi apa-apa, aku bantu kamu ngomong sama dia."

"Ooohhh... Fadilla...terima kasih. Kamu memang sahabat terbaikkuuuuu..." Serunya seraya memelukku erat.

"Hweeeekkkk...kalau kamu membunuhku sekarang, aku tak akan bisa bantu kamu...." Protesku. Dia melepas pelukannya seraya cengengesan. Aku memandangnya sebal. Suasana hati wanita ini memang bisa berubah-ubah setiap waktu. "Sudah pergi sana! Jangan ganggu aku!"

"Memangnya apa yang sedang kamu kerjakan?"

"Proposal penugasanmu ke pedalaman Papua." Jawabku asal. Reina menghentakkan kaki ingin protes tapi aku mengibaskan tangan untuk mengusirnya.

Tapi dasar bandel, bukannya keluar dia malah duduk di kursi depan mejaku.

"Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu ngga pernah cemburu sama Pak Adit? Dia kan eksekutif tuh, pasti sering ketemu sama kolega yang cantik dan aduhai." Nah, sekarang dia menggangguku dengan hasutan iblisnya.

"Kenapa harus cemburu? Kan itu sudah pekerjaannya." Jawabku santai sembari terus bekerja.

"Kamu beneran cinta sama dia?"

"Hmmm..."

"Kamu cinta dia ngga sih?"

"Kenapa tanya begitu?"

"Katanya sih, kalau cemburu itu tanda cinta. Kita tak ingin milik kita dilirik orang lain."

"Kata siapa?"

"Kata...orang-orang. Quote tentang cinta. Perasaan cemburu itu juga sebagai sikap waspada agar pasangan kita tidak selingkuh. Artinya kita perhatian sama dia." Aku mengalihkan perhatian padanya sejenak.

Cinta dalam Toples (sekuel The King of Monster)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang