Kata Bu RT, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika pada akhirnya setelah menikah hanya akan mengurusi dapur.” Tapi jika tidak sekolah, lalu apa? Aku tak mau berakhir seperti wanita kebanyakan di kampung ini yang memutuskan untuk mengabdi pada para lelaki dan bekerja sampingan menjadi tukang solder mukena bordir. Alhasil, kebanyakan orang di sini berada diambang kemiskinan dengan hutang riba seabrek. Dari mulai hutang yang harus dibayar harian, mingguan sampai bulanan.
Ini jugalah yang terjadi pada keluargaku. Hutang kemana-mana, sedangkan Ayah hanya seorang buruh operator mesin bordir yang setiap harinya berpenghasilan tak lebih dari tiga puluh ribu, yang dibayarkan bosnya seminggu sekali. Sementara Ibu adalah seorang guru honorer yang banting stir menjadi penjual toko kelontongan. Walau cukup lumayan penghasilan dari warung, tapi anaknya tak tahu diri dan mementingkan ego serta gengsi, memilih Sekolah Menengah Kejuruan Kesehatan Jurusan Keperawatan di sekolah ternama di kota. Isinya pun jangan ditanya, kebanyakan dari anak orang-orang berduit. Mungkin spesies sepertiku di sekolah hanya sepuluh persennya. Yang setiap kali UTS atau UAS, orang tuaku harus berkunjung ke bagian Keuangan untuk menandatangani surat perjanjian bayar tunggakan, agar aku bisa mendapatkan kartu ujian dan bisa mengikuti ujian.
Namun yang tak kalah miris- menurutku-, adalah golongan kasta sosial tinggi dan terpandang di kampungku. Entah siapa yang mencetuskan, kalau golongan mereka menjadi golongan yang harus diagungkan. Mereka ialah orang-orang yang berprofesi sebagai Guru PNS, Bidan PNS, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di RS atau Puskesmas, Bos Bordir yang memiliki PT, pemegang amanah wakil rakyat, anak-anak yang sekolah di sekolah favorit dan orang kaya lainnya yang memiliki semua fasilitas duniawi.
Walau begitu, kebanyakan para anak Bos bordir dan bos PT lainnya, hanya tamatan SMA dan hanya segelintir yang masuk universitas. Katanya sayang ngeluarin uang puluhan sampai ratusan juta buat kuliah. Toh belum tentu Sang Anak membalas semua itu. Mending dijadikan modal usaha yang jelas juntrungannya, menurut mereka.
Aku tak mengerti akan pola pikir akan bos-bos bergelimang harta itu. Entah pemikiran mereka terlalu sempit, atau memang sangat pelit. Sampai-sampai untuk sekolah anak pun diperhitungkan sampai seperti itu.
Yang lebih miris, si anaknya pun tidak berusaha berontak. Yang mereka lakukan setelah lulus SMA adalah berkembang biak sambil meneruskan usaha orang tuanya.
Sejenak ku berpikir, enak sekali menjadi mereka. Tanpa usaha apapun, bisa hidup enak, nyaman dan menikmati masa muda.
Lain halnya para Guru dan Tenaga kesehatan lainnya. Mereka kebanyakan memasukkan anak mereka ke Universitas untuk melanjutkan hierarki yang mereka pegang. Sama seperti para bos, mereka juga membutuhkan penerus.
Alhasil, keluargaku dicemooh karena tidak mengukur kemampuan. "Ih... atuh sing ngukur ka kujur heueuh. Anak buruh masa sekolahnya teh pengen satu level sama anak Bos," celetukan Teh Mira - tetangga rumah ketika dia tahu aku daftar dan diterima di SMK tempat Despia- anak dari Bos Ayah- sekolah.
Awalnya Ibu hanya menanggapi dengan senyuman. Namun setelah Bu RT menimpali, Ibu lantas berkata, "Miskin boleh, tapi pendidikan nomor satu. Setidaknya ketika saya tidak bisa mewarisi harta seperti Para Bos, maka saya wariskan ilmu. Apapun kondisinya, ya anak-anak saya harus kuliah."
Ibu benar. Dan aku sudah muak dengan kemelaratan. Aku sudah muak diinjak-injak orang seperti tahi ayam tak berguna. Aku sudah lelah menjadi kacung anak orang kaya yang bisa memerintah seenak jidatnya.
Aku menatap lurus gerbang sekolah bercat kuning dari seberang jalan. Aku menguatkan pegangan pada tali ransel. Rahangku menguat.
Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari kemelaratan ini.
***
Bagaimana menurut kalian? Terimakasih telah mampir dan membaca ceritaku. Jangan lupa untuk kasih vote dan komen ya. Supaya aku lebih semangat lagi nih.
Semoga bermanfaat 🥰
InsyaAllah akan rutin up setiap Senin, Kamis dan Sabtu, ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
ChickLitDi tengah kemelaratan keluarganya, Mutia hanya ingin lulus kuliah tepat waktu dan merantau ke Ibu Kota. Namun kebangkrutan usaha kelontongan ibunya dan pengkhianatan keluarga ayahnya, membuat Mutia harus mempelajari kehidupan dan arti sebuah kedewas...