Selain rumah, tempat yang paling memuakkan di dunia ini adalah...
PLAK!
"Heh, gembel!" pekik seseorang setelah menjitak kepalaku tanpa permisi. Aku kontan meringis sambil memegang bekas jitakkannya. Ketika menghujam sang pemilik tangan tak berakhlak itu dengan tatapan sinis, dia langsung melingkarkan tangan kirinya di bahuku. Tatapan menyebalkannya berubah tajam, yang buatku langsung ciut dan menundukkan pandangan.
"Lo mulai berani sama gua? Mau gua colok mata lo?" ancamnya. Siapa lagi kalau bukan Despia Maharani Putri- si anak bos bordir di kampungku yang gayanya selangit namun otaknya tak jauh lebih baik dari padaku. Gelagatnya yang mengintimidasi seperti ini, aku sudah paham. Bukan sekali dua kali ia lakukan. Bahkan sejak Sekolah Dasar.
Aku tak tahu harus seperti apa mendefinisikan hubungan pertemananku dengan Despia. Benar-benar berteman atau hanya sebatas simbiosis mutualisme. Semacam kerbau dengan jalak.
Despia si anak Mamih itu selalu memanfaatkan otak standar ku menjadi tameng nilainya agar tidak berada diambang batas KKN. Itu kiamat baginya. Karena semua fasilitas yang diberikan Sang Ayah, dari mulai motor sampai smartphone, akan dicabut sementara. Untuk itu, dia selalu mengendalikan ku dengan iming-iming uang atau makanan enak yang sebelumnya tak pernah masuk ke dalam lambungku. Kadang pula, dia memberikan cuma-cuma baju, tas, sepatu mahal miliknya yang sangat layak pakai, hanya karena dia sudah bosan memakainya. Kadang pula, kalau sedang mood-nya bagus, dia mengajakku pergi ke mall bersama Geng Seven Gold-nya.
"Flashdisk lo mana? Gue mau copy tugas Pengantar Ilmu Penyakit."
Aku mengangguk paham sambil mengaduk isi tas. Setelah menemukan benda pipih berwarna hitam-merah itu, Despia langsung merebutnya.
"Thank's, Gembel," ucapnya kini dengan wajah ceria. Dia lantas berlari di lorong menyusul gengnya yang berjalan di depan kami.Untung kami berbeda kelas. Dia kelas Keperawatan 1, sedangkan aku kelas Keperawatan 2. Patut aku syukuri. Namun bukan hanya Despia yang buatku muak. Tapi...
Baru saja masuk ke kelas dan menyimpan tas di kursi, Imran sudah berkomentar tentang seragam yang kupakai pagi ini. Ia tertawa sambil menunjuk rok abu-abu panjang yang kupakai.
"Itu rok apa gorden, njir? Lebar amat, Mut... Mut..."
Si Beo itu, tak bisakah dia diam dan tak komentar sehari saja?
Sambil geleng-geleng kepala, dia menatapku tak percaya dari ujung kaki sampai kepala.
Aku tak merespon. Yang kulakukan hanya duduk manis, mengeluarkan binder dan sebuah pensil. Daripada menanggapi orang nggak jelas sepertinya, lebih baik aku melanjutkan sketsa gambar Naruto-ku yang sempat tertunda kemarin.Lagi pula, apa salahnya aku memakai rok rempel panjang hasil dari turunan bibiku yang dua tahun lalu lulus SMA. Menurutku ini masih layak pakai kok. Toh tidak ada yang sobek dan ini pas ditubuh tinggi kurusku. Ya, walaupun sedikit luntur. Tapi ini masih enak dipandang.
"Mending. Itu kerudung, apa lap? Emak lo nggak nyariin di rumah?" sahut seseorang yang sudah kuhafal suara cempreng menyebalkannya. Siapa lagi kalau bukan Alfa Pratama Maulana Wijaya Kusuma- anak pertama dari pemilik butik Pratama Fashion. Dia dan keluarga adalah pemegang kasta tertinggi dalam perbordiran kota kami. Produk gamis dan mukenanya saja sudah lintas provinsi. Bahkan tahun lalu, Ibu Negara Republik ini sengaja datang ke butik keluarga Alfa untuk membeli langsung.
Aku berhenti mengarsir. Menarik napas berat, lalu mengangkat wajahku untuk menatap sinis dua orang di depan kelas sana.
"Lap? Bukan, njir. Itu bekas kelambu adeknya."
Imran dan Alfa tertawa terbahak. Sementara teman lainnya, ada yang ikut tertawa, ada pula yang hanya mesem-mesem masih menghargai ku.
Kenapa harus membahas kerudung Paris putih yang telah usang ini sih?
Aku meremas pensil. Jujur kuakui warnanya memang sudah butek dan berbeda jauh dengan kemeja putih - pemberian Despia semester lalu. Tapi jika aku memakai kerudung bergo yang biasa ku pakai, mereka selalu mengejekku seperti anak TK.
Hah... Susah sekali untuk hidup nyaman, menikmati masa muda tanpa menjadi bahan olokkan. Lagi pula siapa yang mau seperti ini? Inginku setiap semester beli kerudung baru, baju baru, rok baru, sepatu baru bahkan tas baru, seperti mereka. Kalau bisa pakai jam tangan baru dan smartphone terbaru yang kini sedang menjamur di kalangan siswi SMK Amerta ini. Tapi apa daya? Tangan tak sampai. Ibu hanya mampu membelikan ku baju seragam setahun sekali bahkan lebih.
Aku mengeraskan rahang. Jika suasa kelas sepi, ingin rasanya aku menjambak poni lempar Alfa yang sok ganteng itu dan menendang tulang kering kaki Imran si cungkring. Namun tiga perempat penghuni kelas sudah datang. Dan-
"Ada yang namanya Mutia Safitri?” kata seseorang datar dari luar kelas.
Aku kontan menoleh. Batal meluapkan amarahku yang meledak. Sedangkan Imran dan Alfa langsung berhenti menjadikanku bahan olokan. Mereka sama sepertiku menatap aneh cowok diambang pintu itu."A-aku. Kenapa ya?" jawabku setengah ragu sambil menunjuk diri sendiri. Heran toh? Baru kali ini ada dari kaum Adam yang mencariku.
Alfa langsung mendelik tak suka. Sedangkan cowok itu menatap datar diri ini. Aku jadi gugup. Apalagi mulai terdengar kasak-kusuk dari belakang yang keheranan mungkin kenapa Si Jangkung itu- yang merupakan musuh bebuyutan kelas kami kalau tanding basket di acara Pekan Olahraga Sekolah, mencari ku.
Siapa lagi kalau bukan, Juna Abiyoga, kelas Farmasi 1.
Cowok berjaket parka berwarna army itu, maju beberapa langkah ketika matanya bertubrukan kembali denganku. Debaran di jantungku jangan ditanya. Sudah amburadul sejak pertama kali dia memanggil namaku.“Oh ternyata, elo," kata Juna di luar perkiraan.
Hah? Apa dia udah tahu aku sebelumnya? Apa aku ketahuan selama ini sering curi-curi pandang padanya, baik ketika upacara, saat istirahat maupun saat dia datang memarkir motor Vixion merah miliknya di parkiran, depan kelasku.
Seketika otakku dipenuhi dengan semua kemungkinan yang terjadi.
"Ini dompet, lu.” Juna mengangkat benda kotak berwarna coklat susu yang ada di tangannya ke udara.
Aku bengong, bingung. Perasaan setelah mengeluarkan uang untuk membayar ongkos angkot, aku memasukkan dompetku ke saku jaket.
"Lain kali hati-hati," ujarnya seraya melemparkan benda kotak itu ke arahku.
Aku buru-buru menangkap dompet itu, yang nyaris mendarat di jidat jenong ku jika saja refleks ku buruk. Apa jadinya jika hal itu terjadi? Pasti jadi bahan lelucon lagi.
"Jangan dibiasain tidur di angkot. Terus kalau turun itu, liatin lagi barang bawaan lo. Repot juga kalo beneran ilang kan?” kata Juna membuatku terhenyak. Aku makin bingung. Bukannya dia pulang-pergi sekolah naik angkot, kenapa dia bisa tahu kebiasaanku tidur di angkot? Apa dia punya mata-mata yang sengaja ia bayar untuk mengawasi ku? Tapi untuk apa? Dan lebih tidak mungkin lagi anak orang kaya, ganteng dan setia sepertinya naik angkot? Turun level dong.
“Te-terima kasih,” ucapku gugup. Setengah kesadaranku masih terbius oleh sikapnya.
“Kembali kasih,” kata Juna datar seraya berbalik dan pergi.
Semua temanku langsung bersorak heboh. Persis kayak penonton sepak bola ketika idolanya berhasil membobol gawang lawan dengan satu tendangan sakti.
“Kuy, upik abu ketemu sama pangeran ganteng. Sadar diri woy!” ledek Imran sambil menepuk-nepuk pundakku. Sontak tawa teman-temanku pecah.
Hah... Ingin rasanya ku berkata kasar!
***
Gimana nih, menurut kalian? Kalau kalian jadi Mutia, enaknya Si Duo Racun itu diapain ya? 😩🤔
Jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar kalian, ya.
Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Literatura KobiecaDi tengah kemelaratan keluarganya, Mutia hanya ingin lulus kuliah tepat waktu dan merantau ke Ibu Kota. Namun kebangkrutan usaha kelontongan ibunya dan pengkhianatan keluarga ayahnya, membuat Mutia harus mempelajari kehidupan dan arti sebuah kedewas...