BAGIAN 1

7 0 0
                                    

"Lembut angin yang membelai helaian rambut, tak mampu sampai ke hati untuk mengetuk"

***

Ketegangan sangat terasa di sebuah ruang keluarga. Di sana telah duduk beberapa orang dengan berbagai usia. Ketegangan tersebut bukan dipicu antar anak yang saling memperebutkan harta warisan, namun antara seorang anak dengan kedua orang tuanya, dan mungkin orang "tua" lain. Beberapa yang lain hanya memperhatian, satu dua dari mereka memijat kening menandakan pusing dengan perdebatan itu.

"Pokoknya aku ngga mau, bu. Buat apa capek-capek ngelakuin semua itu?" ucap si anak kepada ibunya. Ia kemudian bangkit dari kursi dan berjalan ke luar ruangan. Rupanya kalimat tanya yang ia lontarkan tadi tidak membutuhkan jawaban.

Kepergiaannya dari tengah perkumpulan orang tua itu tentu mengundang berbagai pandangan, tak terkecuali wanita yang dipanggilnya Ibu dan pria yang ia panggil Bapak.

Ia adalah Tanaya Naeswari Permadi. Anak kedua dari dua bersaudara yang hidupnya normal-normal saja selama 16 tahun. Namun sejak seminggu ini ia merasa hidupnya yang normal dan bebas mulai terancam.

Semua dimulai ketika hubungan orang tuanya membaik dengan keluarga Ibu seminggu yang lalu tepat pada hari lebaran. Sedikit cerita, hubungan Ibu sempat buruk dengan keluarganya–lebih tepatnya keluarga besar yang benar-benar besar. Semua itu dimulai ketika Ibu memutuskan menikah dengan Bapak. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, memang apa yang salah? Tidak ada yang salah, hanya saja keluarga Ibu yang kebetulan semuanya darah biru itu melarang Ibu menikah dengan Bapak. Lebih mudah ditebak bukan sekarang? Ya, bapak Tanaya bukan keturunan darah biru. Di samping itu yang lebih penting, dulu ekonomi Bapak dan Ibu sangat berbeda. Intinya latar belakang mereka serba berbeda. Namun atas dasar cinta yang tulus, Ibu tetap menikah dengan Bapak. Toh eyang kakung dan eyang putri merestui saat itu, begitulah pikir Ibu. Asal restu orang tua didapat, semua aman.

Singkat cerita ada beberapa ucapan yang tidak berkenan di hati Ibu setelah pernikahan. Ibu memutuskan untuk keluar dari lingkup keluarga besarnya, hidup sederhana dengan Bapak, kemudian dikaruniai dua putri. Keluarga besar itu merupakan keluarga dari kakek Ibu. Terbayangkan bukan seberapa besarnya? Eyang kakung Tanaya—ayah dari Ibunya—merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Keluarga sering memanggil dengan sebutan eyang pertama dan eyang kedua. Eyang pertama itulah yang kehidupannya masih menerapkan adat dan budaya dengan kental. Sehingga anak-anak hingga cucunyapun juga lebih menjalankan adat dibandingkan keluarga eyang Tanaya. Namun kedua keluarga besar itu sangat dekat dan berhubungan baik. Mungkin hal itu juga karena eyang Buyut meninggalkan usaha keluarga yang harus diurus keturunan dari eyang pertama dan eyang kedua dengan bersamaan, tanpa membagi. Usaha tersebut diantaranya pusat perbelanjaan yang kini telah tersebar hampir di seluruh Indonesia, properti, dan perusahaan berbagai jenis produk makanan instan. sebenarnya kini saudara-saudara Ibu menjalankan bisnis dan sukses masing-masing, jadi tidak ada perebutan usaha keluarga itu. Mereka murni mengurus karena itu peninggalan eyang-eyang. Yah, walaupun semua tetap mendapat keuntungan dari bisnis-bisnis tersebut.

Kembali pada Tanaya yang kini berjalan ke depan rumah. Ia menuju pendopo, kemudian duduk di salah satu sisi yang menghadap gerbang utama. Ia taik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata.

"Karena hubungan kita semua sudah baik, bukankah seharusnya kita laksanakan pesan dari eyang Tanaya?" ucapan salah satu budhenya kembali terlintas di pikiran Tanaya. Kata Budhe dan beberapa keluarga lain, sebelum meninggal eyang pernah berpesan kepada keluarga dari kakaknya untuk mengajarkan Tanaya budaya dan tradisi. Bila perlu hingga Tanaya mampu menerapkan dalam kehidupannya.

Belum selesai dengan fakta yang sudah sedikit mengganggu ketenangan Tanaya, budhenya yang lain menambahkan "gimana kalau sekalian saja kita jodohkan Tanaya dengan putra mba Anna. Hitung-hitung kembali merekatkankan keluarga besar kita". Persetujuan dari hampir seluruh keluarga yang ada di ruangan itu, ditambah wajah Ibu dan Bapak yang menunjukan persetujuan meski belum mengungkapkannya, membuat kekesalan yang sedari kemarin Tanaya tahan meluap. Hingga di sinilah ia sekarang, duduk sendiri ditemani angin di sebuah pendopo. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak tertiup angin.

Senja Milik TanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang