Seperti Cinderella

316 70 29
                                    

Usai percakapan mengenai arti gambar hati, Haruto dengan cepat mengubah topik obrolan. Dia benar-benar mengajarkan huruf pada Doyoung. Tapi menulis di pasir ternyata cukup sulit.

Haruto sempat pulang terlebih dahulu agar bisa membersihkan badan penuh peluh sisa lari pagi dan panasnya matahari yang berada di titik tertingi. Dia tak akan mau Kembali ke pantai jika tidak menuai janji pada Doyoung.

Haruto hanya menarik buku gambar dan alat tulis untuk dimasukkannya ke dalam ransel. Di muka pintu, dia sempat termangu menatap sebuah slipper tergeletak. Mungkin itu milik pemilik vila yang memang sengaja disediakan.

Haruto melirik juga kets yang lama tak dipakai. Dia menggunakan sepatu itu hanya saat berangkat dari Seoul. Setelahnya, Haruto lebih memilih sandal karena dirasa lebih nyaman.

Menimbang-nimbang untuk membawa kets-nya atau tidak, pada akhirnya sepasang alas kaki itu masuk ke dalam tas.

Doyoung tidak ada di tempat yang sama Ketika dia Kembali. Tapi Haruto tetap duduk karena tau lelaki manis itu pasti akan datang. Kisaran lima belas menit memangku buku sketsa dan menggores pensil runcing di kertas, Haruto tersentak kala seseorang tiba tiba membisik Namanya dari belakang.

"Haru."

Haruto menoleh, dan Ketika ia menoleh, wajah Doyoung dalam jarak dekat dia dapati. Mata Haruto membeliak sementara Doyoung tampak tersenyum senang. Lelaki itu ikut duduk di sisinya sambil mengintip apa yang Haruto gambar.

"Ini batu karang."

Haruto berdehem sebelum mengangguk, dan Doyoung lanjut bicara. "Kenapa anak-anak di pantai tidak menggambarnya seperi itu?"

Haruto bingung, tak tahu harus menjawab bagaimana. "Seperti apa gambar mereka?"

"Garis aneh." Doyoung menggambar lengkungan meliak-liuk naik-turun di udara. Lonceng gelangnya bergemerincing lirih.

Haruto hanya tersenyum kecil. Lucu. "Kau mau menggambar sesuatu?" Tawarnya sembari membalik lembar kertas dan menjulurkan pensil pada Doyoung.

Mata lelaki itu melebar kaget. "Tidak. Gambarku juga seperti anak anak. Haru pasti tertawa."

Haruto hanya mendengus jenaka sebelum menutup buku. "Kau dari mana?" Tanyanya.

"Mana saja." Doyoung menekuk lutut demi menjatuhkan dagu di atasnya, menoleh menatap Haruto. "Apa aku harus belajar lagi?"

"Kalau kau tidak bosan."

"Haru tidak bosan menemaniku?"

"Kalau bosan, aku tidak akan datang ke sini."

Lalu pada akhirnya Haruto Kembali menuliskan deret huruf untuk Doyoung, menuliskan kalimat-kalimat singkat yang dibaca dengan terbata. Tidak masalah, menemani Doyoung lebih baik karena Haruto sendiri juga tidak tahu hendak melakukan apa. Dia tidak punya rencana selain tiduran malas di atas sofa.

Haruto pulang Ketika warna senja menghapus langit biru. Dia tak tahu bagaimana bisa lupa waktu hanya dengan menjabarkan Doyoung mana saja huruf vocal dan konsonan. Lelaki manis itu juga belum hafal benar semuanya.

Haruto tak begitu menyadari pendar matahari yang berubah warna jika Doyoung tidak tiba-tiba berhenti menulis dan buka suara.

"Haru harus pulang."

"Oh?" Haruto memeriksa lingkar jam di tangan sebelum lurus menatap garis lautan di depannya. Dalam hati merutuk karena tidak membawa kamera. Memang bukan pertama kali dirinya mendapati langit gradasi oranye tapi entah kenapa hari ini rasanya cantik sekali—juga orang yang disebelahnya.

"Haru, aku juga harus pulang. Aku sudah terlalu lama di sini." Doyoung menutup buku dan menyerahkannya pada pria tinggi itu.

"Kau bilang rumahmu jauh? Apa itu artinya kau akan sampai di sana saat gelap?" Haruto memasukkan buku dan pensilnya ke dalam tas, dan dia baru sadar jika tengah melupakan sesuatu.

Stolen Heart || HarubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang