1. Rumah yang utuh?

28 1 0
                                    

Utuh bukan berarti sempurna, ada banyak ruang kosong yang tidak terlihat dari luar.

___________________

3 tahun yang lalu

Lilin dengan angka 22 sudah menyala sejak sepuluh menit yang lalu, namun sang pemilik masih setia menatap gerakan jarum jam, kurang dari satu menit usianya akan bertambah.

Tepat saat jarum panjang mengenai angka 00.00, dia meniup lilin dengan lembut,

"Selamat ulang tahun Nacita Garvita" ucapnya pada diri sendiri,

Jika dalam beberapa budaya, saat merayakan ulang tahun seseorang biasanya mengadakan pesta ulang tahun bersama keluarga, teman atau orang tercinta, itu tidak berlaku di hidup Nacita yang sudah terbiasa dengan kekosongan. Hanya ada sepotong kue cokelat dengan lilin angka yang menghiasinya.

Semua tampak sunyi, hanya ada suara jangkrik yang menemani malamnya di atas balkon kamar. Nacita itu seperti ruang kosong, hidup dengan apa adanya, hanya mengikuti kata semesta. Orang di luar sana boleh saja iri dengan kehidupan Nacita yang nampak sempurna dari luar, padahal yang terlihat utuh bukan berarti sempurna. Banyak ruang kosong yang tidak terlihat dari luar, namun berusaha Ia tutup agar terlihat sempurna.

"Cita, lo itu sempurna. Punya senyum semanis cotton candy dan otak encer tanpa perlu dipanasin"

Nyatanya mereka tidak tahu tentang Nacita yang sesungguhnya. Nacita yang selalu menunjukkan senyum, padahal ada ruang hampa dibaliknya. Nacita yang selalu terlihat tangguh, padahal ada luka yang membuatnya rapuh.

Boleh saja Nacita marah pada semesta, karena beberapa kebahagiaan di tarik paksa oleh semesta. Tapi, dia tidak se tahu diri itu, karena dia tahu semesta itu adil. Memiliki orang tua yang lengkap saja sudah membuatnya bersyukur, meskipun tidak utuh.

Hidupnya sudah terlalu kosong, dirinya tidak mau lagi mempermasalahkan orang tuanya yang berpisah dan telah bahagia hidup masing-masing dengan keluarga barunya. Bagi Nacita, bisa menghirup oksigen saat membuka mata saja sudah membuatnya bersyukur.

Angin malam meniup lembut rambut sebahu Nacita, dia memejamkan matanya, menarik nafas dalam, menetralisir sesak yang tiba-tiba menjalar ke ulu hatinya. Orang bilang, usia 22 tahun adalah usia dimana kamu akan mengalami tantangan terberat dalam hidup. Tapi Nacita sudah melewati itu semua, bahkan sebelum menginjak remaja. Jadi, seharusnya tidak ada ketakutan menjadi dewasa baginya.

"Cita! Tante pulang."

Sudut bibir Nacita membentuk bulan sabit saat mendengar suara khas milik tante Lily. Dengan segera dia beranjak dan berlari menghampiri tante Lily dan Oma Rose yang sudah menyambutnya di pintu kamar, di tangannya ada kue tart berukuran sedang dengan krim cokelat yang melapisi.

"Selamat ulang tahun, Cita"

Satu pelukan hangat mendekap tubuh ramping Nacita, Lily mengelus pelan punggung Nacita.

"Sehat selalu, Cita kesayangan kita" Ucap Lily sambil melepas pelukannya

"Oma, Tante, makasih karena selalu ada buat Cita. Makasih mau nerima Cita di rumah ini saat Mamah Papah bahkan gak mau lagi ingat nama Cita,"

Oma Rose menggeleng kuat, "Cita sayang, kamu gak perlu bilang makasih. Kamu itu berharga, senyum kamu itu harta tak ternilai dan kebahagiaan kamu adalah anugerah tak terhingga, udah jadi tugas Oma sama tante untuk menjaga hadiah terindah dari Tuhan dalam bentuk kamu, sayang"

Lily mengangguk menyetujui, sambil mengusap butiran bening yang lolos dari matanya.

Lagi, senyuman indah terbit dari sudut bibirnya. Satu hal yang membuatnya bertahan sampai hari ini, karena dia tidak sendiri, ada Oma Rose dan Tante Lily yang menjadi pelengkap rasa syukurnya.

Kenapa Nacita setegar ini? Jawabannya karena dia adalah Garvita, yang penuh rasa syukur.


°°°~°°°

Suara lonceng berdenting, kala seorang gadis memasuki sebuah cafe. Matanya mengedar mencari lelaki yang sudah membuat janji temu dengannya, ah , lebih tepatnya gadis itu yang membuat janji.

Matanya jatuh pada lelaki jangkung dengan balutan kemeja berwarna navy yang tengah duduk menghadap jendela. Dengan langkah setengah ragu, dia mulai mendekat kearahnya.

"Hai" Sapanya sambil tersenyum

Lelaki itu menoleh, dengan sorot matanya yang teduh dia tersenyum hangat

"Hai, Ri. Sini duduk" Jawabnya sambil berdiri menggeser kursi dihadapanya
dan mempersilahkan gadis itu duduk.

Dua coffe latte sudah tersaji, asap tipis mengepul dari cangkir membuat aroma coffe tercium kuat. Hujan deras di luar, membuat susana cafe semakin sunyi. Setengah pengunjung sudah pergi beberapa menit yang lalu, menyisakan keduanya yang hanya duduk diam.

Lelaki itu menautkan alisnya, mendapati gadis di depannya enggan membuka suara,

"Ri, ada apa?" tanya lelaki itu memecah keheningan

Tidak ada jawaban, gadis itu sibuk memilin jari-jari tangannya dan enggan menatap lawan bicaranya.

"Ada masalah, Ri? Kamu bisa cerita sama aku" tanyanya lagi, tapi hanya gelengan kecil sebagai jawaban yang dia terima.

Lelaki itu mengangguk paham, membiarkan Riri tenang dengan isi kepalanya dulu. Dia memutuskan menatap hujan di luar yang sudah semakin reda dan menyisakan gerimis kecil.

"Nayaka" panggil Riri setelah berperang dengan isi kepalanya

"Hmm?"

Lelaki yang dipanggil Nayaka itu menoleh dan tersenyum hangat,

"Aku mau kita selesai, Ka"

"Maksud kamu?"

"Aku mau kita putus"

Nayaka tercekat, dia diam sejenak, mencerna setiap kata yang lepas dari mulut Riri, "Kamu gak lagi becanda kan, Ri? Ini udah masuk bulan Mei, aplril mop udah selesai"

"Aku serius, Ka"

"Kenapa tiba-tiba? Apa aku ada salah sama kamu?"

"Kamu gak ada salah, Ka. Tapi aku gak punya alesan untuk tetap sama kamu"

"Kamu bosan, Ri?"

Riri menggeleng lemah,

"Kasih aku alesan, Ri. Biar aku bisa perbaiki semuanya, kamu gak bisa pergi tiba-tiba kayak gini"

Lagi-lagi hening menyelimuti keduanya, Riri yang hanya terisak di seberang sana dan Nayaka yang mencoba tenang menunggu Riri membuka suara.

"Aku mau menikah, Ka"

Siang itu, setengah hati Nayaka hancur di bawa hujan. Harapan yang di susun sedemikian rupa ikut tergerus oleh derasnya hujan yang kembali turun. Hubungan yang dia jaga selama 5 tahun, selesai begitu saja. Lebih sialnya, Riri yang dia anggap menyayanginya dengan tulus pergi dengan orang baru. Hati siapa yang tidak hancur?

Katamu, Kamu jatuh cinta tanpa alasan. Kenapa saat pergi pun memakai alasan yang sama?

- Nayaka Danadyaksa

_______________________________

To be continued

Terimakasih banyak...

Kata Semesta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang