part 15

3.7K 239 7
                                    

Saat Nunung keluar dari rumahnya, angin pagi langsung menerpa wajah dan tubuhnya. Refleks Nunung mengangkat kedua tangannya dan melipatnya di dada dalam posisi menyilang, salah satu tangannya menggosok-gosok lengan agar hangat karena dingin begitu menusuk hingga ke sumsum tulang.

Matanya menatap orang-orang yang berlarian ke arah rumah salah satu warga.

Nunung melihat di kejauhan, Ibu mertuanya sedang berdiri di pinggir jalan dan menatap awas, sedang Tono masih di dalam rumah dan sibuk mencari jaketnya.

Pria itu lalu bergegas keluar rumah, di mana Nunung berdiri di teras tanpa pergerakan.

"Ada kejadian apa, Nung, kenapa orang berlari-lari ke arah sana," tunjuk Tono saat berada di samping Nunung yang saat itu masih membekap tubuhnya.

"Nggak tahu, Mas. Kok kayaknya orang-orang lari ke arah sana, ya?" sahut Nunung tak lepas dari orang-orang yang berlalu lalang.

"Kalau gitu Mas lihat dulu. Kamu sama ibu di rumah aja. Kamu masuk, Nung, udara dingin, mana ujan rintik-rintik," suruh Tono.

"Iya, Mas. Ibu juga suruh masuk, ngapain berdiri di pinggir jalan begitu," seloroh Nunung saat suaminya berlalu pergi.

Tono mengiyakan dengan kaki yang terus melangkah. Ia berhenti tepat di samping ibunya yang mengeratkan sweater rajut yang dipakainya. Sempat berbincang sebentar dan akhirnya wanita tua itu berbalik dan melangkah ke arah rumah.

Nunung menatap awas mertuanya dan melangkah menyambut, ia takut orang tua itu terjatuh.

"Bu ... ada apa, Bu?" tanya Nunung saat ia berada di samping ibu mertuanya. Ia meraih tangan ibu mertuanya yang terasa dingin, menjaganya agar tidak terjatuh.

"Ibu denger tadi orang-orang bilang ketemu Mira di ladang jagung," jawab Sumini, kaki tuanya menaiki tangga kecil yang ada di muka rumah dengan perlahan.

"Tapi, ibu heran, kenapa orang-orang pada berlarian ke arah rumahnya? Ibu ndak sempat nanya, soalnya orang-orang ndak ada yang jalannya santai," imbuhnya lagi.

Dahi Nunung mengernyit. Tanda tanya besar di dalam kepalanya, kenapa orang-orang pada berlarian? apakah ada sesuatu yang menimpa Mira dan keluarganya?

" Nunung mau lihat, Bu, tapi Mas Tono melarang," senang menghela nafas dan duduk di karpet hijau yang terletak di depan TV, sedang ibu mertuanya duduk di kursi rotan yang menghadap ke arahnya.

"Yo wis, tunggu wae, Nung. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Mira dan keluarganya," jawab Sumini seraya menatap ke arah luar.

Belum lagi Nunung mengamini ucapan mertuanya, tiba-tiba saja Sumini berdiri dan melangkah tergesa ke arah pintu depan rumahnya.

Nunung yang terkejut hanya bengong, matanya mengikuti arah langkah ibunya. Ia pun berusaha berdiri dan mendekati ibu.

"Assalamualaikum, Mbah Sumini," seorang laki-laki tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu dan langsung disambut ramah oleh wanita tua itu.

"Waalaikumsalam, ada apa Pak Bagus, kenapa nampaknya sangat terburu-buru, apa ada sesuatu yang terjadi dengan Mira?" tanya Sumini saat melihat raut wajah laki-laki yang barusan datang itu tampak gusar dan sedih.

Laki-laki di hadapannya ini adalah pakdenya Mira--gadis yang disinyalir hilang sejak hari kemarin.

"Mbah, minta maaf Mbah, bisakah pagi ini mandiin keponakan saya, Mbah. Mira rencana akan di kuburkan pagi ini juga," cetus lelaki itu dengan raut wajah sedihnya.

"Lah memang, ono opo karo Mira?" netra tua yang sudah dipenuhi warna putih itu membeliak, hatinya mulai gundah.

Nunung yang berada di belakang pun tak kalah terkejutnya. Ia menangkap apa yang diucapkan oleh laki-laki di hadapannya, tapi batinnya tidak percaya. Apa benar Mira sudah meninggal?

"Iya, Mbah. Tadi malam ibunya Mira di mimpiin sama Mira, ia disuruh datang ke ladang jagung di ujung desa ini Mbah,"

"Kami sekeluarga awalnya tidak percaya dengan ucapan Mariani, tapi begitu melihat keseriusan di wajahnya dan juga ketakutan, sebelum subuh tadi kami bahu-membahu mencari Mira bersama dengan keluarga yang lain,"

"Dan sebelum adzan tadi Mbah, kami akhirnya ketemu dengan Mira yang sudah tak bernyawa," terang laki-laki itu.

Dua wanita itu langsung shock. Tubuh mereka langsung terasa lemah, kaki yang menjadi tumpuan pun rasa tak berdaya menopang tubuh. Berita itu seperti tamparan keras, apalagi bagi Nunung yang merasa baru saja bertemu dengan Mira tadi malam.

"Ba--baik ... nanti setelah sholat subuh saya akan ke rumah bersama dengan menantu saya ini," ucap Sumini yang langsung di sambut dengan senyum hampa lelaki paruh baya itu.

"Njih Mbah, kalau begitu saya permisi dulu Mbah, matur suwun sanget njih, Mbah," tuturnya sopan sebelum ia pergi dari rumah Sumini.

Sumini dan juga Nunung mengganggu saat laki-laki itu pergi dari hadapan mereka.

Perlahan wanita tua itu membalikkan tubuhnya dan mendapati wajah Nunung yang berubah pucat.

"Gimana Nung, kamu keberatan gak bantu ibu lagi mandiin Mira," ucap Sumini sembari menatap lekat menantunya saat itu terlihat sangat ragu dan ketakutan.

Nunung terdiam beberapa saat. Ia masih shock dengan kejadian pagi ini. Bagaimana bisa Mira dikatakan sudah meninggal, sedang tadi malam ia masih bercengkrama dan berbicara dengan Mira.

"Nunung sebenarnya mau, Bu. Cuma ... Nunung masih sok aja. Kalau saja Nunung berhasil membawa Mira pulang, pasti saat ini Mira masih sehat walafiat," rasa penyesalan terekam jelas di wajah Nunung saat itu.

Sumini lalu menepuk pelan bahu Nunung, pancaran matanya seketika membuat Nunung tenang.

"Bukan salahmu, Nduk. Semua sudah jalan takdirnya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, tapi ketetapan hanya milik Allah,"

"Kasihan Mira, Nduk. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membantunya?" Sumini berkata lembut, berusaha untuk menenangkan menantu kesayangannya.

"Baik, Bu. Nunung akan temani ibu," Nunung akhirnya mengangguk setuju.

"Nah, gitu. Kalau bukan kamu dan Lastri yang bantu ibu, siapa lagi? Kamu kan tahu, Nung. Orang-orang desa ini enggan untuk menggantikan posisi ibu, selain mereka takut, pekerjaan ini tidak memberikan pundi-pundi rupiah yang besar, hanya keikhlasan dan lillahi ta'ala yang kita dapatkan," papar Sumini dengan wajah sendu. Nunung merespon dengan anggukan pelan.

"Kalau begitu Ibu siap-siap dulu, Nung, solat juga belum," ucap Sumini sembari melangkah ke arah dapur dengan tergesa-gesa.

Nunung pun mengikuti jejak ibu karena ia pun belum melakukan kewajibannya itu.

Saat matahari mulai beranjak dari peraduan, Nunung bersama ibu mertuanya bersama Lastri berangkat ke rumah almarhumah Mira. Mereka berjalan beriringan tapi tanpa berbincang, larut dalam pikirannya masing-masing.

Nunung sempat menghentikan langkah saat mereka akhirnya tiba di rumah duka.

Rumah sederhana bercat biru yang dikelilingi bunga melati Jepang itu tampak ramai. Orang-orang seliweran dengan kegiatannya masing-masing.

Ada yang beberes di bagian ruang tamu, mengangkat kursi-kursi dan menyusunnya di depan.

Di bagian halaman ada beberapa orang laki-laki yang mendirikan tenda persatuan dan sebagian membuat tempat pemandian di belakang.

Sedangkan ibu-ibunya terlihat berlalu lalang dengan membawa kantung yang berusia bunga dan juga beras.

"Nung!"

Nunung tersentak saat seseorang menepuk bahunya, ia tersadar dari lamunannya, dan begitu ia melihat, ternyata ...

Mandiin MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang