9. Berbagi

5.5K 380 12
                                    




Fyi, aku dan penulis Bad Romance punya target 2 bulan untuk merampungkan project ini. Jadi buat kalian yang baca salah satu atau dua-duanya (tapi lebih bagus dua-duanya sih, karena nanti bakal ada beberapa scene yang saling berkaitan hehe), jangan khawatir cerita kita mandek atau tiba-tiba pindah ke platform lain. Enggak. UHWD dan BR akan ditamatkan di Wattpad, tapi mungkin untuk extra chapter-nya bakal dipublish di KaryaKarsa, okay?

Sooo, ikuti terus keseruan Eya dan Anye bersama papa-papanya.

Happy reading!











Semalam sebelum tidur, Eila berhasil memancing kesabaran ibunya—yang kadang setipis tisu dibelah dua—dengan dramanya. Drama minta diteleponkan papa, tapi begitu diindahkan dan suara Janu terdengar, Eila justru menolak bicara. Meringkuk di sudut kamar dekat ranjang dengan kedua tangan dilipat di depan dada juga lutut tertekuk. Ngambek. Nada tahu apa alasannya, tapi ibu satu anak itu memilih untuk tidak menjelaskannya pada sang mantan. Percuma. Sebab di ujung sana, suara Inez tidak kalah ribut.

"Sayang, udahan dong teleponnya."

"Bentar, anak aku nggak mau ngomong."

"Ya udah, matiin aja. Paling akal-akalan si Nada itu mah."

Lalu kini, paginya Eila kembali menciptakan huru-hara dengan mogok mandi. Masih mengenakan sporot dan celana dalam, bocah empat tahun itu gelantungan di pagar depan rumah, menunggu papa yang janjinya akan datang. Buat Nada berdecak setelah beberapa kali menyerukan nama Eila sambil mencari ke setiap sudut ruangan dan ternyata anaknya ada di luar.

"Eila, mandi dulu!" bujuk Nada.

"Eya mau dimandiin Papa," rengek Eila.

"Nggak usah aneh-aneh! Biasanya juga sama Mama." Berhenti di belakang si kecil, Nada angkut tubuh mungil Eila ke dalam gendongan. Anak itu tidak berontak. Malah mengalungkan tangannya ke leher Nada dan bersandar di sisi pundak wanita itu.

Segera Nada berbalik untuk membawanya masuk, kalau saja suara Janu tidak terdengar. "Eila," panggil pria itu, menginterupsi niat Nada. Wanita itu menoleh ke belakang dan mendapati Janu lengkap dengan senyum hangatnya, tapi Nada sadar senyuman itu untuk anak mereka.

Sementara Eila ... alih-alih menyambut seperti kemarin, bocah itu malah melengos sok nggak peduli. Padahal beberapa saat lalu dia ribut nanyain bapaknya yang nggak dateng-dateng.

Otomatis senyum di bibir Janu luntur dalam sekejap. "Eila?" Ia dekati putrinya.

Yang dipanggil tetap bungkam, menyembunyikan wajahnya di dada ibunya.

"Eila marah sama Papa, hm?" Janu menunduk, mensejajari sang putri. Tangannya terulur—mengusap surai hitam putrinya yang tergerai berantakan. "Eila," panggil Janu, lembut. "Sini gendong Papa," rayunya, tak berhasil.

"Kamu tunggu aja di teras, biar aku mandiin Eila bentar." Nada menengahi.

"Okay."

Nada membawa Eila masuk. Sesekali bocah TK itu melirik ayahnya yang berjalan di belakang sang ibu, lalu cepat-cepat sembunyi lagi di balik dada ibunya tiap kali ketahuan. Sampai jarak memisahkan keduanya. Janu duduk di teras depan—ditemani Hartomo, sedang Nada lekas memandikan putrinya usai packing barang untuk dibawa rekreasi. Eila kembali menggelontorkan ribuan kata berupa tanya maupun ocehan tanpa makna, dari dia mandi, ganti baju, dan sekarang ... sarapan.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang