1. Beauty Privilege

566 158 21
                                    

1. Beauty Privilege

Beauty privilege itu nyata adanya. Jika kamu cantik atau tampan, maka segalanya akan jadi lebih mudah. Kamu akan menempati skala prioritas teratas dalam kehidupan sosial. Mudah mendapatkan teman. Mudah menjalin relasi. Mudah mendapatkan pekerjaan. Apa pun yang kamu mau bisa kamu dapatkan. Semua orang akan menghargai dan mendukungmu. Bahkan jika kamu melakukan kesalahan, orang-orang akan memaklumi itu. Karena apa? Karena kamu good looking. Bahkan jika bisa, mungkin sila kelima Pancasila akan diubah menjadi 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat cantik dan tampan'.

Beda kasus jika kamu bad looking. Maka kehidupan sosialmu mungkin akan jauh lebih sulit. Kamu akan disingkirkan dari circle pertemanan. Kamu akan dipandang sebelah mata ketika sedang melamar pekerjaan. Orang-orang agak malas menolongmu ketika butuh bantuan. Juga ada berbagai hal lainnya yang sulit kamu dapatkan hanya karena wajahmu tidak rupawan. Sekali lagi, sebab 'keadilan sosial memang hanya untuk seluruh rakyat cantik dan tampan'. Puncak komedi sekali, bukan?

Oh, apa aku terdengar skeptis dan sinis sekarang? Aku dengan sadar diri mengakui itu. Tentu saja ada sebabnya kenapa aku membahas tentang beauty privilege ini. Sesuatu yang saat ini sedang kuhadapi, yang mampu membuatku merasa menjadi manusia paling disepelekan di bumi ini.

"Cewek cakep mah bebas. Lo harus cakep dulu kalau mau diistimewakan kayak tadi."

Belum juga reda emosiku, seseorang di belakang justru menyulut api. Kalimatnya yang mengandung sindiran, membuatku makin kesal. Pandanganku beralih ke arah anak SMA yang langsung mengangkat kedua bahu dengan cuek begitu tatapan kami bertemu.

"Terima aja kali, Kak. Mau lo protes gimana juga orang-orang bakalan lebih mihak cewek cakep. Apalagi yang body goals kayak kakak cakep tadi." Lalu anak laki-laki itu menatapku dari bawah, naik ke atas hingga berhenti tepat di wajah. Ada seringai jijik di bibirnya, yang membuat tanganku terkepal. "Lo kalau suntik putih kayaknya bakal better, deh."

Aku tertawa singkat ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya dengan enteng. "Mulutmu kalau dijahit juga bakal better."

Anak itu berdecak cuek. "Kesinggung? Kan emang iya. Tanya nih semua orang di sini." Dia menunjuk kasir pria—sumber kemarahanku—, juga beberapa orang yang masih mengantre dan beberapa bergender sama dengannya. "Kakak ini cakep apa jelek? Ada yang mau nolong dia? Ada yang mau naksir dia?"

Aku jadi merasa kikuk saat mereka makin memusatkan perhatian ke arahku, setelah keributan yang aku perbuat. Dan kocaknya, mereka diam. Tidak ada yang menjawab, seolah mereka membenarkan apa yang anak ini katakan.

"Tuh. Orang-orang nggak bakal ngakuin lo cakep. Jelek sih jelek aja. Kulit item, ditambah badan cungkring kayak tulang berjalan. Udah gitu, dengan pede-nya protes pas ada kasirnya ngutamain yang cakep. Lo sehat?"

"Kamu yang nggak sehat!" Aku berdecak. "2023 masih aja diskriminasi."

Aku di masa lalu mungkin hanya akan diam dan memilih pergi jika diperlakukan seperti ini. Namun itu dulu, sebelum sadar bahwa ketika ditakdirkan menjadi bagian dari manusia bad looking, aku setidaknya harus punya keberanian lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya. Tentu saja demi mempertahankan harga diri yang bahkan hanya tersisa sedikit akibat ditempa kerasnya kehidupan sosial di masyarakat.

"Tapi ini bukan tentang diskriminasi, Kak. Ini tentang selera." Kasir minimarket yang sejak tadi saat aku protes hanya diam, kini mulai bersuara. Kualihkan pandangan ke arahnya, sembari mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan mendekapnya di dada. Dia kini menatapku remeh. "Kita cowok juga nggak munafik, lebih suka lihat yang bening daripada yang dekil gini. Lagian hak kita mau berpihak ke siapa."

Definition of Ugly (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang