Bab 28

10K 752 91
                                    

*vote

.

.

.

Hari itu semua berkumpul di acara peresmian pembangunan pabrik baru yang sekarang udah resmi menjadi milik atas nama Wildan Harris Mursyid. Si cowok gagah yang sekarang sedang bersiap gunting pita.

Sorak sorai semua tamu undangan pun bergema. Senyum merekah di semua wajah mereka. Pun juga semua karyawan pabrik lama yang diundang di acara ini. Itu Wildan yang mau agar semua karyawan aktif ikut andil dalam kebahagiaan ini.

Yaaa meskipun proyek ini diperkirakan baru akan selesai dan bisa ditempatin dalam kurun waktu yang hampir setahun ke depan, tapi dengan adanya gedung baru ini diharapkan bisa memperbaiki segala hal yang perlu dibenahi di perusahaan milik keluarga Bondan ini.

"Anak kita udah dewasa ya, bund!" ucap Bondan yang sambil merangkul pinggang istrinya.

"Iya, Yah. Bunda juga bangga sama anak kita!" bunda mah orangnya gampang nangis.

Yaaa emang sih yaa... emang diakui Wildan cuma nerusin usaha ayahnya. Bukan real perintis seperti mas Raka yang merangkak dari bawah memulai usahanya yang mungkin jauh di bawah Wildan.

Meskipun begitu, Wildan juga gak serta merta membanggakan dirinya sebagai pewaris. Dia pengen jadi pemimpin yang down to earth katanya. Toh dengan pabrik ini juga yang sedikit banyak menghidupi hampir 1300 karyawan nya agar kompor di rumah tetap menyala.

"Dia anak ku! Huhuhu... " Sruuuutt...

Bondan buang ingus di tisu. Saking sedihnya ceritanya...

Bunda juga gitu, mungkin saking bangganya sama Wildan, dia sedih sandarin kepala di bahu suaminya itu.

Dan mas Raka yang mendampingi mereka ngasih respon, "pfftt.. " Dia nutupin mulutnya pake punggung tangan.

"Iya sih hebat anak bunda. Tapi sayangnya Homo!" itu mas Raka bilangnya dalam hati.

Lalu seakan kek udah menyatu antara batin mas Raka sama Wildan, Wildan yang masih sibuk menerima jabat tangan dari tamu undangan terhormat itu melirik mas Raka dengan tatapan membunuh.

Mas Raka yang sadar itu langsung berhenti ketawa. Kaya Wildan ngasih isyarat kalo dia bilang, "apaan lu ngejek gue, mas? Awas aja ntar malem abis lu. Gue bikin ngesot!"

Aw. Takut.

Tapi engga, Wildan tetap berwibawa dengan gayanya bak seorang CEO muda, anjaaaaay...., dengan setelan jas tuxedo dan dasi kupu-kupunya.

Di perjamuan makan siang itu, Wildan duduk bareng sama mas Raka tentunya.

"Aduh istri gue cantik banget hari ini!" puji Wildan meremas paha mas Raka.

"Heh! Punya malu, cil!" Mas Raka panik. Soalnya ini bocil kalo mau bikin momen mesra suka gak liat situasi.

"Oh iya, mas Wildan. Katanya mas Wildan mau merencanakan pernikahan ya? Kalo boleh tau, kapan mas? Hehe...."

Pertanyaan yang sangat asu sekali yaa.. Itu koleganya Bondan yang tanya btw.

"Ee...betul. Tapi saya masih santai aja kok, tak perlu terburu-buru. Yang penting saya udah menyiapkan segalanya sebelum hari itu terjadi."

Wildan yang ngomong, mas Raka yang deg deg an. Tapi untung nya Wildan Seme yang peka. Dalam kondisi resmi ini pun, dia tetap bisa menenangkan mas Raka. Dia genggam tangan mas Raka di bawah meja dan di usap pake jempol.

Semua berjalan lancar, kecuali satu.

"Ayo ayaaaaaaang.... Gue gak mau ketinggalan!"

"Bentar ih. Ini masih jam sembilan mek. Lo ngapain buru-buru anying? Mau bantuin bersihin peron lu? Hah?"

WILDAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang