Mentari muncul dengan gemulai di ufuk timur, menyinari segala sesuatu dengan kehangatan dan cahaya yang lembut. Embun pagi menghiasi daun-daun hijau dengan kilauan berlian, sementara burung-burung berkicau riang menyambut awal hari. Suasana damai dan tenang membuat hati menjadi ringan, siap menghadapi petualangan baru yang menanti di hari yang cerah ini.
Didalam sebuah rumah megah, terdapat Raga yang tengah menyiapkan makanannya sendiri. Raga adalah anak sebatang kara yang hidup di hiruk pikuknya dunia. Orang tua Raga telah meninggal saat ia berumur 7 tahun. Raga juga sempat tinggal di panti asuhan sampai ia duduk di bangku SMP. Namun, tiba-tiba pamannya memberikan warisan ayahnya yang dititipkan padanya. Raga dijemput pamannya dari panti asuhan dan melihat warisan tersebut.
Warisan sang ayah berupa rumah dan uang yang lumayan bisa mencukupi kehidupannya, dan inilah kehidupan Raga sebenarnya. Benar sepi dan tidak ada siapapun yang menemani. Setelahnya ia beranjak dari meja makan dan keluar untuk berangkat memakai mobil putih peninggalan ibunya.
****
Tak butuh waktu lama, Raga memberhentikan mobilnya tepat di parkiran sekolah dengan plang besar bertuliskan SMA NEGERI ATMAJA. Itulah nama dari sekolah Raga. Sekolah ini terletak di Bandung kota dan lebih diisi dengan siswa-siswi yang berprestasi dan juga berekonomi. Jadi tak aneh jika parkirannya luas dan bangunannya pun megah.
Raga berjalan masuk ke gerbang utama dan berlari menuju kelas. Namun, Raga diteriaki oleh seseorang dari belakang membuatnya menoleh dan menghela nafas lelah.
"RAGA ARGANTARA!!"
Laki-laki dengan perawakan jangkung dan kulit putih itu bernama Pradipta Brahma. Ia adalah sahabat Raga dari bangku SMP sampai sekarang. Ia lebih sering dipanggil Dipta, daripada Pradipta.
"Gausah teriak." Raga mendelik.
"Jangan cembelut dong, sayang. Pipi bikinin susu, mau?"
Raga menyentil mulut Dipta, "Stres. Gue gak homo!"
Dipta tertawa dan berujung merangkul Raga untuk masuk kelas bersama. Sementara Raga hanya mendelik dan terus mendelik. Kelas 11 IPA 1 merupakan kelas mereka. Tampang Dipta memang tengil, tapi otaknya tak mungil. Lanjut, mereka pun duduk di bangku paling depan agar senantiasa lebih mudah memahami materi dan lebih jelas terlihat tulisannya.
"Eh, rapat OSIS kapan?" tanya Dipta.
Raga menggidikkan bahunya tak acuh. Ia malah membuka bukunya dan hendak memasang earphone namun lebih dulu dicegah oleh sikap tengilnya Dipta.
"Lo kan ketuanya."
Benar memang, Raga adalah ketua dari OSIS SMA NEGERI ATMAJA. Namun, pekerjaan mengurus rapat sesama OSIS seperti itu seringnya diurus oleh Wakil ketua OSIS dan sekertaris. Raga hanya mengurusi round down rapat bersama guru atau mengurusi acara yang seharusnya jadi tanggung jawabnya seperti Gelar karya, acara hari besar dan lainnya.
"Tanya Cheryl," jawab Raga.
"Males, alay orangnya. Meskipun dia pinter sih. Tapi kalo alay, plus pick me, ogah gue!"
"Lo kan seksi humas, deket sama sekretaris. Tanya dia aja." Raga menjawab masih dengan nada datar.
Meskipun tengil dan petakilan, Dipta merupakan anggota OSIS diseksi Hubungan Masyarakat yang dikenal sebagai humas. Seksi ini bertugas untuk menyampaikan segala informasi penting mengenai organisasi kepada publik. Seperti ada acara berbagi sembako pada masyarakat yang membutuhkan, Dipta akan mengumumkan dan menyampaikan informasi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Ganda (REVISI)
Fiksi Remaja"Dua jiwa yang berbeda, dengan satu cinta yang sama." Pertemuan yang sudah disusun oleh sang maha kuasa. Membuat dua insan yang tak tau apa-apa, harus terpaksa memahami satu sama lainnya. Ini menceritakan seorang laki-laki yang terkenal dengan pres...