BAB 6 [END]

1K 89 8
                                    

CATATAN PENULIS:

Akhirnya tamat. Disebabkan oleh keterbatasan kata, bab ini diakhiri dengan ending gajelas, NAMANYA JUGA PWP. Tapi di balik kegelapan berakhir dengan kelucuan. Mungkin bakal aku bonusin epilog khusus pendukung di sini, yang udah ngasih vote dan meninggalkan jejak di kolom komentar.

Karya ini hanya ditemui di Wattpad dan PDF yang aku kirimkan ke beliau. Aku tidak bisa menyebutkan namanya karena itu dilarang. Kalau ada yang share PDF-nya, berarti beliau sedang berbaik hati. Karena siapa pun bisa menikmati PDF tersebut bila beliau berkehendak.

■□■□■□■□■

Sudah berapa lama dia tidak mengambil wiski dari dalam lemari penyimpanan?

Sejak lima dua tahun lalu, Naruto kecanduan minuman. Ia memang tidak terlalu suka menikmati obat-obatan, walaupun punya kebebasan untuk mendapatkannya tanpa perlu takut ketahuan dan dijebloskan ke penjara. Neneknya akan melindunginya, sementara wanita tua itu sudah duduk di ruang baca, melepaskan kacamatanya, diletakkannya kemudian di atas buku bersampul beledu yang hampir terkelupas oleh waktu.

"Perempuan itu hamil?"

"Iya."

"Tidak berencana kamu nikahi?" Naruto menghidangkan teh buatannya kepada sang nenek. "Berapa kali kalian melakukannya? Perempuan itu mirip seperti pelacur karena saking seringnya kamu gunakan. Kamu mungkin saja tampak baik-baik saja. Tapi bagaimana dengannya?"

"Aku tidak pernah memperkirakan kamu bakal mempermasalahkannya dan terlihat penuh kasih padanya. Apa aku benar-benar mirip seperti seorang maniak? Pecandu seks?"

"Akan aku jawab, ya!" Naruto melangkah mundur selagi dia mengerucutkan bibirnya. Tidak lama kemudian dia terbahak-bahak. "Apa ada yang lucu?"

"Aku sedang membayangkan menggaulinya dengan perut yang sudah membesar," dia dapat mendengar suara helaan napas yang berat. Terdengar seperti, kamu memang tidak punya harapan. "Nenek tahu kalau aku menyukainya, kenapa sekarang mempermasalahkannya?"

"Tidak, kamu salah," jawab neneknya. "Aku tidak pernah mempermasalahkan kamu mau menidurinya berapa banyak, tapi meniduri seorang wanita hamil itu adalah perbuatan dosa!" buku yang tadinya di atas meja teh tiba-tiba diambil dan dipukulkannya di kepala Naruto. "Aku sudah tidak tahan sekarang. Kamu sudah bukan anak kecil yang pantas mendapatkan kemarahan dariku. Kamu akan jadi seorang ayah, bersikaplah dewasa, atau anak itu bakal menurun kelakuanmu yang biadab. Ya, aku tidak akan mempermasalahkan kamu menyingkirkan bajingan-bajingan itu, tapi tidak boleh melukai perempuan yang akan menjadi istrimu bahkan ibu dari anak-anakmu. Kakekmu bisa saja bangkit dari kuburnya dan memukul kepalamu tidak hanya dengan buku yang aku pegang sekarang."

Naruto mengusap dahinya. Dia sudah keterlaluan membuat neneknya marah. Ia harusnya minta maaf, tapi hanya mengusap kepalanya yang berdarah itu.

"Bukan tanpa sebab aku menguncimu di sini dan tidak membiarkanmu keluar, kecuali orang lain yang boleh mengunjungimu," wanita tua itu mengambil sarung tangannya, lalu kembali dikenakan olehnya pada masing-masing tangannya. "Terima kasih karena kamu mau memahami dan menurut selama mungkin. Aku tidak mencegah perempuan itu sampai ke sini agar kamu memahami bahwa fantasimu sebaiknya lebih dikendalikan."

"Baiklah."

"Kalau sampai dia mengalami keguguran, itu karena kamu penyebabnya," neneknya bersiap meninggalkan ruang baca itu, tapi kali ini memberi satu pesan kepada Naruto agar dia sendiri lebih tenang untuk meninggalkannya. "Perlakukan dia dengan lebih baik, karena dia akan melahirkan keturunanmu. Meskipun kamu menyukainya, bukan berarti kamu harus memperlakukan dia tanpa belas kasihan."

"Iya, baik."

Tubuh Naruto tiba-tiba merosot begitu pintu ruang baca itu ditutup. Neneknya memang yang paling mengerikan. Sampai kapan pun dia tidak akan berani melawan kemarahan wanita tua itu. Sejak dia kecil, neneknya mencurahkan semua kasih sayang kepadanya, itu karena ada saatnya Naruto tampak sangat cocok untuk mewarisi kekayaan dan kekuasaan di dunia gelap yang ada di keluarganya. Neneknya melahirkan anak perempuan. Setelah hampir dua abad, tidak ada laki-laki yang lahir di keluarga mereka, maka dari itu neneknya sangat menyayanginya—tapi apakah kekerasan juga bentuk dari kasih sayang?

Memastikan mobil tua neneknya pergi dari halaman rumah besarnya. Naruto bergegas pergi ke kamarnya dan melihat Hinata sedang duduk santai sambil menikmati buah-buahan. "Apa bayinya baik-baik saja?" Hinata terlihat keheranan dengan pertanyaan penuh nada panik itu. "Dia masih bernapas, 'kan?"

"Terjadi sesuatu selama bertemu nenekmu?"

"Tidak, kami hanya minum teh bersama, lalu membahas soal kehamilanmu."

"Oh," Hinata kembali memerhatikan perubahan sikap Naruto, juga dahi yang terluka. "Ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?"

"Tadi—" ujar Naruto sambil mengamati Hinata. "Nenek bertanya apakah aku harus menikahimu. Apakah kamu ingin pesta pernikahan? Tapi sulit untuk keluar dari tempat ini, karena masa latihanku belum selesai. Sejak SMA, aku selalu memaksa nenek untuk mengajariku cara menjadi seorang pembunuh bayaran. Ia sepertinya tidak ingin aku meneruskan bisnisnya. Tapi aku adalah anak laki-laki yang sangat dibanggakan olehnya. Setidaknya aku harus membuatnya lebih bangga. Dan setelah tidur denganmu, aku memutuskan untuk dikurung di tempat ini dan melakukan serangkaian pelatihan."

"Maka dari itu kamu tidak pernah menunjukkan diri kepadaku setelah dari rumah pelacuran itu?"

"Kamu benar. Setiap kali aku ingin bertemu denganmu, aku hanya akan mengirim seseorang untuk mengawasimu."

"Tidak buruk." Setelah itu Hinata turun dari kursinya. Dia mendekati Naruto, duduk di pangkuan pria itu. "Mau melakukan sesuatu denganku?"

"Nenek bilang tidak boleh melakukan hubungan seks saat kamu sedang hamil," Naruto berdiri dari duduknya. Meninggalkan Hinata sendiri di kamar, yang termenung melihat keanehan pria itu. Namun Hinata malah menyusul, merangkul lengan Naruto dan bertanya-tanya dengan wajah menggemaskan. "Tidak boleh. Anak itu harus lahir dengan sehat, nenek sudah tahu kalau anak itu adalah laki-laki. Kalau terjadi sesuatu padanya, leherku mungkin bakal digorok."

Hinata kemudian berhenti mengikuti. "Aku tidak mungkin membesarkan anak itu sendirian tanpamu," katanya kepada Naruto. "Kalau begitu, tidak usah bertemu denganku sampai anak itu lahir agar kamu tidak disalahkan kalau terjadi sesuatu padaku."

Padahal mereka hidup serumah, tapi tidak bisa bertemu, hanya karena takut terjadi sesuatu pada sang bayi. "Apa menurutmu kita mampu bertahan?" Hinata mengedikkan bahunya. "Semua ini demi anak itu."

"Dan tentu saja, demi nyawamu." Balas Hinata.

■□■□■□■□■

TAMAT

CAMOUFLAGE [Short Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang