(21+) WARNING! PWP!
PWP (Plot What Plot) Fanfiction yang tidak memiliki plot yang jelas dan biasanya sangat pendek, kadang jargonnya jadi Porn Without Plot. Meski begitu, di sini masih ada plot tipis-tipis walau agak nggak jelas nanti.
■□■□■□■□■
Leherku terasa tercekik!
Ada baiknya aku tidak bergerak. Aku bersusah payah untuk bersuara, tapi mulutku yang mungil tersumpal oleh kain. Tidak dapat dipungkiri bahwa bibirku terluka tidak hanya kering. Pria di atasku menggigit sampai beberapa kali. Aku tak tahu sampai kapan penyiksaan tersebut akan terus diterima. Namun pada akhirnya seperti makanan penutup yang tidak boleh dilewatkan.
"Tuan!" aku memekik begitu tuanku menarik kain tersebut dari mulutku. Sudah tidak terhitung berapa kali aku memohon dengan tatapan sedih, juga bibir yang meringis karena menahan sakit. "Saya mohon!"
"Mohon?"
"Saya mohon berhenti!"
"Bukannya aku sudah bilang padamu? Kalau kamu mengucapkan kata-kata yang salah, itu artinya—" tuanku kemudian berdiri dari duduknya, menghadapkan kejantanannya tepat di mulutku, sementara kedua lututku masih mendarat di atas balok es yang dingin. Tanpa sehelai benang, kakiku memucat dan terasa kaku. Aku tak yakin bisa pulang. Tapi kalau tidak meninggalkan rumah besar ini, aku mungkin akan disiksa sampai beberapa hari ke depan. "Kamu tahu apa hukumannya?"
"Tidak!" rintihku parau, dia tampaknya masih tidak menyerah. "Saya tidak bisa. Saya tidak pernah melakukannya."
"Mulai sekarang kamu harus melakukannya," mendongak begitu daguku diangkat. Aku pun dapat melihat tuan tersenyum kepadaku dengan seringai yang mematikan. Sejak awal, suasana di antara kami tak dapat dipahami. "Ini semua gara-gara kamu," dia seperti sedang memerotes. "Kamu yang memulainya. Kamu berniat kabur setelah melihat semua isi kamar bermain, 'kan? Ayo, katakan padaku, mungkin aku bisa meringankan hukumanmu."
Dengan tangan masih diikat di belakang tubuhku, aku berpikir tidak mungkin diam saja. Aku harus menjawab, tetapi yang aku ingat, pada saat itu ketakutan yang mengerikan tersebut membuatku memilih lari. Tuan di depanku ini sungguh mengerikan. Apakah mungkin karena hal tersebut, pria ini diasingkan oleh keluarganya di tengah hutan lindung pribadi?
Sebuah kawasan yang tidak boleh sembarangan dimasuki. Selain dilepaskannya hewan buas dengan sengaja, tempat ini terisolasi. Pelayan hanya akan datang setidaknya seminggu tiga kali. Rumornya, tinggalah pria tua sakit-sakitan yang hidup sendirian. Tapi apa sekarang? Pria sehat ini mencoba melecehkanku, atau mungkin pelayan lain yang tak kutahu.
"Terakhir kali apa tidak menyenangkan?"
Saat aku mencoba lepas, tetapi tubuhku tak bisa bergerak sesuai kemauanku. Benda besar itu memasuki mulutku, hampir tak dapat aku kuasai setiap gerakan yang dipaksakan tersebut, menyentuh dinding kerongonganku, dan hampir membuatku muntah.
"Ya ampun, jangan gunakan gigimu, itu sakit tahu."
Wajahku pun merengut, bahkan napas yang sedari tadi dipaksakan tetap ada agar bisa hidup, semakin menipis. Kelau pria itu tidak mengeluarkan benda mengerikan itu dari mulutku, tidak lama lagi aku mungkin saja bakal mati.
"Kulum yang benar!" bentak pria itu. "Begini saja kamu tidak bisa!" kau pikir, apakah mengulum penis seorang pria akan begitu saja dikuasai oleh semua perempuan? Orang sinting ini—aku bahkan tak dapat mengungkapkan semua kemarahan yang terus mengalir.
Dengan kedua mata yang bahkan tak bisa memejam cukup benar, aku tidak dapat lagi merasakan bahwa tuanku bergerak untuk membimbing—mengeluar-masukkan penis besarnya yang mengerikan ke dalam mulutku yang bahkan tak dapat bisa kutampung lagi. Pada akhirnya pun aku tak sanggup, sehingga memilih tanpa rasa takut untuk memuntahkannya. Semua sperma yang keluar itu berceceran di lantai. Akhirnya aku sedikit merasa lega.
"Apa kamu tidak tahu seberapa berharganya benih-benih itu bagi keluargaku?"
Tidak dapat mengatasi kondisi, aku pun mulai terjatuh. Di tengah ambang kematian, aku masih terus mendengarkan dia mengomeliku. Apakah itu penting untuk didengar? Tentu saja tidak!
Jujur, aku tak dapat berpikir jernih sekarang. Sudah tak sanggup duduk bersimpuh di atas balok es yang dingin. Semua hukuman itu tidak masuk akal. Aku akan lebih memilih untuk tidak dibayar daripada mengalami hari-hari mengerikan, di kurung di tempat paling terisolasi di tengah hutan. Di sela-sela merasakan kaki tak mampu bergerak, aku bahkan tak mendengar suara perkotaan, selebihnya hanya suara kumbang dan serangga yang saling bersahutan—tentu saja, jangan lupakan bahwa pria itu masih mengomel sambil membawaku entah ke mana.
Tuhan! Bagaimana bisa ini tidak terlihat adil bagiku yang ingin hidup menjadi perempuan biasa saja.
■□■□■□■□■
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMOUFLAGE [Short Story] ✔
Fanfiction(21+) WARNING! PWP! Sebelum singgah lebih dalam harap membaca CATATAN di dalam cerita. Disebabkan sudah dewasa, Hinata tidak lagi berada di panti asuhan, tempat yang memberikannya napas lega setelah mimpi buruk karena kekerasan semasa kecil yang dil...