BAB 4

770 89 2
                                    

■□■□■□■□■

Bohong kalau Naruto Uzumaki tidak pernah meninggalkan rumah besarnya yang berada di tengah hutan. Semua orang sering kali membicarakan kalau pria itu diasingkan karena sudah membuat kesalahan. Namun tak banyak orang tahu, kalau pria itu berada di tengah hutan hanya untuk melakukan pemburuan, melatih pandangannya untuk menembak, belajar lebih giat menjadi seorang pembunuh bayaran menggantikan neneknya yang sudah tua.

Setelah persetubuhan yang rutin, Hinata merasa aneh kalau pria itu tidak datang malam ini. Tapi sebelum dia menganggap kalau pria itu tidak akan datang ke kamarnya yang ada di lantai paling bawah rumah besar itu, dia mengintip keluar—dari jendela kecil yang bahkan kacanya sudah buram karena berjamur. 

Ada banyak sorot cahaya dari mobil yang keluar dan masuk, tidak seperti biasanya. Keributan-keributan kecil seperti teriakan dari seseorang, tidak mungkin ada pesta karena tak sekalipun Hinata dapat mendengar lagu dan orang bersorak-sorai dalam kegembiraan.

Hanya mengenakan gaun tidur tanpa pakaian dalam. Hinata menarik pintu kamarnya, dia berencana akan pergi ke dapur di lokasi yang sama di mana menjadi tempat tinggalnya. Namun anehnya, tidak ada penjagaan seperti yang diketahuinya, mengingat dia tidak pernah dibiarkan untuk ditinggalkan begitu saja. 

Hinata pun memilih keluar, mungkin saja ini kesempatan dia untuk melarikan diri. Tidak peduli dengan pakaian yang tidak layak. Ia akan lebih baik merasa kedinginan di tengah hutan, atau mati dimakan hewan buas. Tapi ini hutan lindung, tidak ada hewan-hewan mengerikan seperti yang ada di dalam kepalanya. Ia akan tetap aman, walau tersesat nantinya.

"Ini aneh," gumam Hinata, di tengah perjalanan menyelusuri koridor, dia tidak menemukan seseorang yang kadang berseliweran untuk mengecek sesuatu di rumah itu.

Rumah tersebut memang tidak ada pelayan yang mengatur segala sesuatu selama seharian penuh. Tapi setidaknya ada tiga penjaga dan asisten untuk menemani sang tuan rumah selama tinggal. Tukang kebun, juru masak, lalu terakhir pelayan seperti Hinata akan datang setidaknya seminggu tiga kali. Hanya orang-orang yang dapat dipercaya dan secara khusus punya wewenang untuk tetap tinggal sana. Hingga akhirnya kini dia mengalaminya, terpaksa tinggal karena harus melayani sang tuan dalam pelayanan malam yang tidak dapat ditolak.

Mendengar langkah seseorang, Hinata merasa beruntung dia memiliki tubuh mungil, sehingga baginya cukup mudah bersembunyi di antara gorden.

"Apakah hari ini?"

"Iya, orang-orang itu akan dieksekusi dan akan dijadikan makanan Kurama."

"Sejak kapan macan itu jadi doyan makan manusia?"

Kedua tangan Hinata menekan dadanya yang tiba-tiba berdenyut karena rasa takut.

"Tentu saja sejak tuannya memanjakannya."

Kedua orang itu pun menertawakan percakapan mereka sendiri, sementara Hinata sama sekali tidak tahu Kurama, macan yang sedang dibicarakan oleh mereka. Hinata tak pernah menemukan ada hewan seperti itu di hutan ini atau dijadikan peliharaan oleh sang tuan. Naruto tak pernah sekalipun menyinggungnya pula.

Hinata kembali melanjutkan jalannya. Kalau saja dia ketahuan, tidak ada alasan dia tetap bertahan selain dijadikan makan malam Kurama. Sebagai seseorang yang masih waras, Hinata sering kali bertanya-tanya, siapa pria itu.

Selama bekerja di sini, gajinya mungkin besar, sedangkan Hinata tak pernah memikirkan bagaimana risikonya. Orang-orang sering kali sama seperti dirinya terlena untuk mendapatkan semua keuntungan dan gaji yang layak. Berandai-andai hidup dalam kemakmuran sehingga tak perlu lagi berpikir bakal kelaparan.

Berencana menyelinap di pintu belakang. Hinata dikejutkan oleh suara seseorang. "Kenapa kamu melampiaskannya pada kami? Ketika kamu sudah mendapatkan anak sialan itu!" tidak mungkin Hinata tidak tahu suara perempuan yang menindasnya selama berada di panti asuhan. Membawa semua hadiah-hadiah Natal untuknya dari seorang donatur spesial, yang memberikan semua hadiah itu khusus hanya kepadanya.

Langkah Hinata perlahan mendekati ke mana asal suara itu. Ia mengintip dari balik tembok yang rapuh—bangunan lama dari rumah itu, yang ditinggalkan, dan hampir orang di sana melarangnya untuk datang ke tempat itu. Tidak disangka-sangka. Tempat tersebut seperti bagian dari dunia lain, dalam cerita dongeng horor yang membuat merinding.

Hinata membungkam mulutnya. Ia melihat seekor macan dengan tubuh yang besar berada di dalam kandang besi raksasa. Macan itu kelihatan sekali kelaparan. Sedangkan Naruto duduk di atas kotak kayu selagi menggaruk dahinya menggunakan ujung pistol yang digenggamnya.

"Aduh, berisik sekali."

Mereka—Hinata terpaku pada teman-temannya. Tapi tak bisa dikatakan sekalipun mereka berteman baik selama ini, mengingat ibu panti sangat menyayangi anak perempuan itu daripada siapa pun di panti asuhan tersebut. 

Anna adalah anak perempuan keturunan Prancis, begitulah orang lain menganggapnya karena wajahnya mirip seperti orang asing dengan rambut pirang menyala alami. 

Anna memiliki teman akrab yaitu Akiko dan Yumi. Kedua anak itu sama halnya seperti Anna yang suka merampas hadiah orang lain, kalau dirasa hadiah itu sangat bagus, dan hanya mereka yang boleh memiliki. 

Namun akhirnya terungkap beberapa tahun kemudian, kalau Anna sebenarnya adalah putri dari ibu panti yang hamil tanpa menikah, sehingga akhirnya ada banyak percekcokan di antara keduanya. Sekeluarnya dari panti, Anna dikabarkan menjadi seorang pelacur di distrik merah.

"Anna, Akiko, dan Yumi," asisten Naruto berseru, sedang membacakan sesuatu dari iPad yang dibawanya. "Data mereka sudah lengkap. Tidak akan ada yang curiga mereka hilang."

"Tentu saja, anak yatim piatu seperti mereka yang menjadi seorang pelacur. Tidak ada yang peduli kecuali paman-paman yang menyayangi mereka, toh paling-paling para paman kaya raya juga sudah menemukan pelacur yang lebih menarik dari mereka, bukan?"

Ketiga perempuan itu disumpal sebelum masing-masing kepala mereka dimasukkan ke dalam karung. Naruto kemudian menodong kepala mereka dengan pistol yang dibawanya, tetapi terkejut ketika seseorang berteriak di belakangnya. "Hentikan!" dia menoleh, menjumpai Hinata terduduk dengan wajah pucat.

"Wah, Tuan Putriku sudah bangun."

"Apa yang kamu lakukan?"

Naruto melirik ketiga perempuan itu. Tidak lama dari itu pun, dia kembali melirik Hinata. Kemudian menghampirinya. "Apa kamu menyayangi mereka?" napas Hinata menjadi berat saat Naruto berlutut di depannya. "Lebih sayang mereka daripada aku? Apa kamu tidak ingat bahwa kamu bahkan pernah dijual oleh mereka?"

Hinata tertawa tanpa suara. "Bukankah, kamu juga pada akhirnya membeliku?"

"Oh."

"Aku... di kamar 1208," karena sesak, Hinata sulit mengatakannya. Butuh beberapa menit baginya untuk bisa meredakan kecemasan dan kegugupannya sampai akhirnya dia dapat membicarakannya. "Terima kasih. Aku sungguh berterima kasih," Naruto menelengkan kepalanya. "Terima kasih karena kamu sudah membeliku, sialan!" teriak Hinata sambil air matanya berderai. Kedua tangannya tak berhenti memukul dada Naruto, tidak lama kemudian dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Kenyataannya selama ini, pria itu selalu ada untuknya. Pria itu memiliki cara terbaik untuk melindunginya. Sangat salah kalau diartikan seperti iblis yang hanya mengerti soal persetubuhan saja.

Naruto masih bergeming memerhatikan Hinata.

"Ayo kita pergi dari sini," seru Hinata. "Aku tidak ingin melihat tanganmu kotor—jangan lakukan hal berbahaya untukku," dia memeluk tubuh Naruto, sementara pria itu tak bersuara sejak berlutut dan tercengang begitu Hinata mengenali dirinya seutuhnya. "Aku akan hidup bersamamu sampai tua di sini."

Naruto mendengkus selagi dia menyelipkan senjata apinya di belakang. Saat itu juga, Naruto membawa masuk Hinata ke dalam di sela-sela dia melakukan kontak mata kepada asistennya, memberitahukan isyarat untuk tidak melakukan apa pun tanpa persetujuannya. Sehingga, ketiga perempuan tadi, dikembalikan ke penjara bawah tanah, di bagian lain dari bangunan utama di rumah itu. 

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

CAMOUFLAGE [Short Story] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang