TEMPAT TERAKHIR 13

43 6 0
                                    


Seorang lelaki berjalan dengan tergesa memasuki salah satu tempat perbelanjaan. Langkahnya terpaksa terhenti saat melihat atasannya berdiri tegak di depan pintu dengan mata menyorot tajam ke arahnya.

“Pak, maaf. Saya tadi---”

“Untuk apa kamu datang ke sini? Tidak melihat waktu?” ucap pria dewasa itu sarkas.

“Anak tidak tahu disiplin seperti kamu memang tidak bisa diandalkan,” lanjutnya, tidak memberi Arnesh waktu untuk menjawab.

“Pak, saya---”

“Kamu saya pecat!”

“Pak! Gak bisa gitu, dong!” Dewa muncul dari arah samping lalu berdiri di sebelah temannya.

Atasan mereka itu bukan pemilik resmi tempat ini. Kenapa dia dengan seenak jidat ingin memecat Arnesh? Dia sama sekali tidak ada hak untuk itu.

Pria bernama Pranata itu menoleh. “Kenapa tidak bisa, Dewa? Jelas-jelas kehadiran dia di sini itu hanya merugikan. Bolos kerja hampir setiap minggu, giliran datang untuk kerja selalu tidak tepat waktu. Untuk apa lagi kita mempertahankan manusia tidak berprinsip seperti dia?

Dewa berdiri dengan kedua telapak tangan yang mengepal erat. Rahangnya mengeras, tanda tak terima teman dekatnya diolok-olok sedemikian rupa.

“Kalau emang begitu mau Bapak, saya juga akan mengundurkan diri dari pekerjaan ini,” tegas Dewa tanpa ragu.

Pranata mengulas senyum miring, lalu mengangkat sebelah alisnya. “Apa peduli saya? Sekarang juga kalian angkat kaki dari sini.”

Cih. Tanpa disuruh pun Dewa akan angkat kaki dari sini. Tidak sudi lagi rasanya bekerja di bawah kendali pria bau tanah itu. Ia segera mengapit kepala Arnesh, lalu menyeretnya untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.

“Lo ngapain sih Wa, ngomong kayak tadi? Ikutan dipecat, kan jadinya.”

Dewa menoleh. “Gue sebenernya udah muak kali kerja di sana.”

“Kenapa?”

“Eh, lo gak liat Pran suka nyuruh gue angkat ini, angkat itu. Balik sana, balik sini. Sedangkan dia enak-enakkan duduk santai sambil maen HP?” Dewa berseru kesal.

Arnesh terkekeh. “Iya juga, sih.”

“Oke, lupain.” Raut wajah Arnesh mendadak serius. “Yang harus kita pikirin sekarang, kita mau kerja di mana?” Ia mendudukkan dirinya di sisi jalan.

Dewa menghela nafas gusar. “Coba lo tanya-tanya dulu ke temen-temen lo. Siapa tau ada.”

Arnesh mengangguk menyetujui. “Gue coba.”

Arnesh Gio Klandestin. Lelaki yang awalnya hidup bahagia dengan sang Bunda, tidak pernah kekurangan apapun, kini harus bekerja banting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan.

Memiliki ayah yang katanya masih hidup, tetapi Arnesh sama sekali tidak pernah melihatnya. Ia hanya diberi tahu nama dan gambar wajahnya saja.

Meskipun hidupnya berubah drastis seperti ini, Arnesh tetap bersyukur pada takdir Tuhan. Karenanya, ia bisa mengenal teman sebaik Dewa dari mereka yang bekerja di tempat yang sama.

Arnesh juga berterima kasih karena telah diberi otak yang lumayan berguna untuk masa depannya. Ia bisa berkuliah berkat adanya beasiswa yang didapat karena prestasinya.

Namun tak ayal, meskipun ia sudah bisa berdiri sendiri, Arnesh tetap membutuhkan sosok orang orang tua di sampingnya. IaV bertekad untuk mencari sang ayah, dan mengatakan bahwa dirinya adalah putra yang dia tinggalkan saat masih di dalam kandungan.

TEMPAT TERAKHIR [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang