16.

3K 452 30
                                    

Oliver menatap orang-orang yang berlalu lalang, sibuk membersihkan semua sudut mansion. Oliver juga melihat beberapa bodyguard yang berjaga di halaman, ia tidak tahu pasti alasan kenapa harus dijaga.

Kakinya terus bergerak, membawa tubuhnya menuju kamar Gibran yang ada di lantai dua. Oliver ingin bertemu Gibran, ada banyak hal yang harus ia tanyakan dan harus ia mengerti. Ia ingin tau, apa dirinya bisa mempercayai orang-orang ini atau tidak.

"Gibran..?" Cicit Oliver pelan sembari membuka pintu kamar Gibran. Dapat Oliver lihat Gibran tampak meringis dan meracau dalam tidurnya. Oliver bingung, tapi tampaknya ini tidak bagus untuk Gibran.

"Gibran bangun, kamu kenapa?" Tanya Oliver sembari menggoyangkan tubuh Gibran perlahan agar Gibran terbangun. Tapi bocah itu tidak membuka matanya dan terus meracau memanggil sang abang.

Pintu kamar kembali terbuka, menunjukkan sosok Matthew yang masuk menghampiri Gibran. Matthew tidak mengucapkan apapun, tapi pria itu langsung menggendong Gibran dan membawanya pergi. Membuat Oliver kikuk dan merasa tidak enak.

Gibran tampaknya aman bersama orang-orang itu. Gibran disayangi oleh mereka, apa dirinya juga bisa percaya dan mencoba mempercayai mereka? Tapi jauh di dalam hatinya Oliver tetap merasa takut, ia takut lagi-lagi dikhianati dan dibuang. Cukup bunda dan pria itu saja yang membuangnya karena Oliver membiarkan mereka masuk ke dalam hatinya. Oliver tidak ingin sakit lagi.

Langit tampak mendung, Oliver duduk di tepi jendela sembari memperhatikan tukang kebun yang memetik buah-buahan di halaman belakang. Pikirannya melayang, sedangkan tangannya tidak bisa diam untuk tidak mengutip plaster infusnya.

"Oliver!" Pekik suara Gibran di sertai dobrakan pintu, membuat Oliver menoleh dengan cepat ke arah suara dan menghampiri Gibran.

"Oliver! Aku ga mau pisah!" Pekik Gibran disertai air mata yang mengalir.

Oliver tidak menangkap maksud perkataam Gibran, jadi dengan hati-hati dirinya mengulang maksud Gibran. "Pisah?"

"Iya! Hiks.. Aku pulang pagi ini! Padahal kita belum puas main!" Pekik Gibran disertai sesegukannya.

Ah, jadi ini sudah saatnya berpisah lagi? Oliver tidak rela, tapi dirinya juga tidak boleh egois, ia harus menyelesaikan masalahnya sendiri di sini.

"Eung.. Gapapa kok. Nanti kita bakal ketemu lagi. Nanti kita bakal reuni bertiga bareng Noval juga ya? Jadi jangan nangis." Ucap Oliver menenangkan Gibran sembari tangan kecilnya mengelus pelan pucuk kepala Gibran.

"Sudah? Ayo pulang. Kapal kita sudah siap." Ucap Volta yang masuk untuk membawa Gibran pulang. Di belakangnya pun ada Elbrano yang juga turut hadir untuk membawa Oliver melihat kepergian Gibran.

Kali ini saja Oliver tidak menolak. Tangannya menggenggam erat baju yang dipakai Elbrano saat mobil yang ditumpangi Gibran mulai melaju. Air matanya pun turut perlahan-lahan mengalir. Padahal tadi saat masih ada Gibran, Oliver sama sekali tidak menangis dan memberikan senyuman untuk Gibran. Tapi sekarang Oliver yang menangis tersedu-sedu di bahu Elbrano.

"Tidak perlu menangis, nanti bisa bertemu lagi." Ucap Elbrano sembari mengelus punggung Oliver.

Teringat akan sesuatu, Oliver mendorong tubuh Elbrano menjauh dan memintanya menurunkan dirinya. Elbrano hanya tersenyum, tapi tetap menuruti kemauan Oliver. Rupanya Oliver sudah kembali pada kesadarannya.

"Oliver. Tidak perlu bersedih ok? Papa dan para abang akan menjadi temanmu, bagaimana?" Tanya Jebrael lembut seraya mengusap jejak air mata yang mengalir di pipi Oliver setelah menyamakan tingginya dengan Oliver.

Jebrael menahan senyumannya, rasanya Jebrael ingin menggila dan memotret wajah putra bungsunya yang tampak sangat menggemaskan karena sedikit memonyongkan bibirnya sedangkan matanya menahan agar tidak ada lagi air mata yang keluar. Membuat Jebrael ingin meremas Oliver saking gemasnya.

Oh No... [slow Up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang