Shalat itu Di Awal Waktu

2 0 0
                                    

#Seri02

Sejak mengenal ustadz dari tahun 2007 tidak pernah sekalipun aku mendapati beliau melaksanakan shalat telat dari waktu adzan berkumandang. Dalam kondisi normal seperti kegiatan rapat, mejelis taklim, ataupun pekerjaan di lapangan, maupun dalam kondisi safar yang masih memungkinkan, ustadz selalu shalat di awal waktu. Sebuah kebiasaan yang nampaknya sudah mendarah daging yang menjelma menjadi karakter yang kuat dari diri ustadz.

Sepadat apapun kegiatan ustadz, serumit apapun pembahasan dalam rapat rapat anggota dewan, persis sesaat masuk waktu shalat , baik yang terdengar sayup sayup yang ditandai dengan gema kumandang adzan di masjid maupun mushalla terdekat, ataupun yang ditandai dari notifikasi alarm dari gawai yang digunakan, maka sesegera itulah ustadz meninggalkan semua kesibukannya dan bergegas untuk melaksanakan shalat. Nampaknya kebiasaan ini menjadi terlihat ringan dan tanpa kompromi yang menjadikan ustadz terlihat berbeda dari orang lain.

Seringkali dalam perjalanan darat ke berbagai daerah hingga ke pelosok pedalaman di wilayah Kaltim maupun Kaltara, sesaat setelah masuk waktu shalat, ustadz selalu meminta kami untuk berhenti di suatu masjid ataupun mushalla terdekat yang kami temui. Kebiasaan seperti ini secara tidak langsung memberikan pengajaran kepada kami untuk selalu memperhatikan waktu shalat dan disisi lain memberikan hikmah untuk selalu bersikap disiplin.

“Cari masjid atau mushalla terdekat di depan”, ucap ustadz yang selalu kudengar.

Aku yang sudah terbiasa dan memahami kebiasaan ini dengan sendirinya harus selalu berinisiatif beberapa menit sebelum tiba waktunya dan harus terbiasa pula untuk memperkirakan jarak masjid ataupun mushalla yang akan disinggahi selama perjalanan mendampingi ustadz.

Banyak aktivitas bernilai ibadah yang bisa dilakukan menyertai tepatnya waktu shalat di awal waktu ini. Kegiatan wiridan, ma’tsurat, tilawah ataupun dzikir lainnya akan terasa mudah untuk dilakukan. Hal ini menjadi berbeda ketika seseorang lalai dalam shalatnya yang seringkali akan tergesa atau mengurangi kuantitasnya atau bahkan menghilangkan sama sekali semua kegiatan tersebut karena diburu dengan aktivitas lainnya yang sudah menunggu.

“Semua akan teratur jika dimulai dari disiplin waktu shalat”, ucap ustadz yang selalu memberikan contoh langsung kepada kami tanpa banyak teori.

Dalam rapat rapat komisi di kantor Senayan dimana beliau menjadi salah satu anggotanya, baik agenda rapat yang bersifat internal maupun melibatkan pihak eksternal seperti rapat kerja dengan Menteri dari Kementerian terkait ataupun Dirjen maupun mitra kerja lainnya, rutinitas ini menjadi pemandangan unik tersendiri diantara anggota dewan dan peserta rapat yang lain.

Beliau hanya mengacungkan tangan kepada Ketua Sidang meminta izin untuk melaksanakan shalat, maka bersegeralah beliau keluar ruang rapat dan bergegas menuju mushalla yang berada di salah satu sudut gedung komplek Senayan ini.

Dan dikarenakan tempat duduk beliau selalu di barisan paling depan di sebelah kiri dari Pimpinan Sidang, tentu saja rutinitas ini menjadi sangat kentara sekali namun juga menjadi trademark dan karakter beliau yang sangat berbeda dari anggota dewan yang lain. Tidak ada protes, tak terlihat interupsi dari semua anggota, karena mereka semua memaklumi rutinitas ini.

“Berikan jalan buat Pak Kyai untuk shalat dulu”, ucap Ketua sidang dalam beberapa kali kesempatan yang ditujukan kepada anggota lain yang terlihat menghalangi jalan ustadz.

Pak Kyai adalah julukan yang akrab di lingkungan Senayan yang disematkan oleh semua anggota dewan kepada ustadz. Dan dengan sendirinya julukan ini menandakan karakter ustadz yang menjadi pemakluman jika kegiatan dewan berbenturan dengan waktu shalat dan dengan sendirinya pula “izin keluarnya” ustadz ini menjadi penanda masuknya waktu shalat bagi anggota dewan lainnya di tengah kegiatan yang sedang berlangsung.

“Shalat di awal waktu adalah bukti keterikatan hati seorang hamba kepada Allah”, urai ustadz saat menjelaskan sikap disiplinnya kepadaku .

“Semakin kita terikat dengan Allah maka kita akan selalu memperhatikan waktu dan malu untuk menunda shalat, apalagi sampai melalaikannya”.

“Ibarat Allah membukakan pintu dan mempersilahkan siapa saja untuk masuk bertamu, maka jadilah tamu yang pertama agar perhatian Allah lebih intens kepada kita. Orang yang datang sebagai tamu belakangan biasanya sudah tidak menjadi prioritas lagi dan cenderung tidak mendapat perhatian yang besar dari tuan rumah”, jelas beliau memberikan ilustrasi.

“Lalu ustadz, bagaimana dengan orang yang lebih memilih shalat setelah semua kegiatannya selesai, termasuk rapat seperti tadi?”, tanyaku

“Allah sudah memanggil seorang hamba melalui kumandang adzan, apakah layak seorang hamba tidak menganggap penting panggilan ini?”.

“Seorang ibu memanggil anaknya untuk suatu perintah, bukankah si anak dianggap durhaka saat ia tidak mengindahkan panggilan ibunya?”.

“Atau seorang bawahan dipanggil untuk menghadap atasannya, apakah si bawahan akan menafikan kesempatan untuk menghadap atasannya?”, terang ustadz dengan kalimat qiyas yang mudah dipahami.

“Bukankah Al-Qur’an sangat mencela orang yang melalaikan shalat sampai sampai Allah mencelanya dengan sebutan “wail” atau orang yang celaka dan ia bahkan diberikan predikat sebagai pendusta agama?”.

“Orang yang mengulur waktu shalat saja tanpa alasan syar’i yang dibenarkan sudah termasuk orang yang celaka dan masuk dalam golongan pendusta agama, apa kan lagi bagi orang yang tidak melaksanakan shalat. Sebutan apakah lagi yang cocok bagi mereka selain sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah?”, terang ustadz lebih lanjut.

Mendengar penuturan ini, pikiranku langsung terarah ke salah satu surah pendek yang dari dulu sudah bisa kuhapalkan diluar kepala. Surah yang wajib dihapal oleh anak anak kecil yang baru memulai belajar membaca Al-Qur’an, yaitu surah al-ma’un yang terletak di juz 30.

“1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, 2) Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, 3) dan tidak mendorong memberi  makan orang miskin, 4) Maka celakalah orang yang shalat, 5), (yaitu) orang orang yang lalai terhadap shalatnya, 6) yang berbuat ria, 7) dan enggan (memberikan bantuan)”. (QS. 107 : 1-7).

Begitulah ustadz memberikan ibarat bagi orang yang shalat di awal waktu sekaligus menggambarkan kecaman Allah bagi si pendusta agama.

Dari penjelasan ini, ingatanku langsung melayang kepada percakapan Rasulullah kepada sahabatnya saat sang sahabat setibanya di majelis Rasulullah langsung mengajukan pertanyaan “ Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling afdhol yang harus aku kerjakan?, lalu Rasulullah menjawab “ Shalatlah di awal waktu”.

Sungguh suatu perintah yang sangat indah dari Rasul yang mulia. Inilah salah satu mekanisme Islam untuk menaikkan level seorang hamba agar memiliki nilai  lebih di mata Allah. Orang yang menjaga shalat di awal waktu pasti selalu akan berbeda dengan orang yang melalaikan shalat.

Kelebihan dan nilai inilah yang disinyalir oleh Sayyidina Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu dalam atsarnya ;

“Barangsiapa yang selalu mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktu utamanya, maka Allah akan memuliakannya dengan sembilan macam kemuliaan : 1) Dicintai Allah SWT. 2) Badannya selalu sehat. 3) Keberadaannya selalu dijaga malaikat. 4) Rumahnya diberkahi. 5) Wajahnya menampakkan jati diri orang shaleh. 6) Hatinya dilembutkan oleh Allah SWT. 7) Dipermudah saat akan menyeberang shirath (jembatan diatas neraka) seperti kilat. 8) Dia akan diselamatkan dari api neraka. 9) Allah akan menempatkannya di surga kelak bersama dengan orang orang yang tak ada takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati

Begitulah, nilai seorang muslim bukan hanya dari melaksanakan kewajiban shalat lima waktunya saja, tapi bahkan lebih dari itu yaitu konsistensinya melaksanakan shalat di awal waktu utama.

Berhitung dengan waktu dengan menjadikan waktu shalat sebagai tolak ukurnya ternyata bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi seorang hamba untuk mengatur aktivitas lain yang menyertainya.

Selalu ada hikmah tersembunyi dari rahim sang waktu. Dan Allah sudah menyediakan waktu waktu tersebut bagi hamba-Nya, selebihnya terserah sang hamba apakah mau mempergunakannnya ataukah melalaikannya.

*****

Serial Petualangan Dakwah di Bumi Kalimantan Where stories live. Discover now