Fléureanc

48 6 22
                                    

"Bukanya kau bilang sudah tidak memercayaiku lagi?"

Pertanyaan bernada sindiran itu hanya ditanggapi geming oleh Noer. Ia sibuk melirik Aletta yang kini tengah terlelap dikelilingi anak-anak Fléureanc dari celah pintu kamar. Mau bagaimana lagi? Ia takpunya pilihan lain. Ia memang sudah tidak percaya pada pria paruh baya yang mengaku sebagai dokter tapi takbisa menyelamatkan nyawa tuannya. Namun di sisi lain ia tidakbisa mengabaikan perintah tuannya untuk menghubungi dokter itu bila terjadi sesuatu kepada Aletta karena hanya dokter itu yang dapat dipercaya. Padahal ia bisa saja membawa Aletta ke dokter yang jauh lebih hebat.

"Kau harus tahu, Noer. Setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Kami bukan makhluk abadi."

Tahu bahwa perkataannya tidak digubris oleh Noer, pria yang sudah 3 dekade mengabdi sebagai dokter keluarga Pelletier itu mencoba mengalihkan topik yang lebih penting.

"Aku sudah menghilangkan ingatannya tentang insiden Versaca, jadi dia akan baik-baik saja. Daripada itu, mengapa kau takmenyarankannya untuk memulai terapi? Setidaknya itu lebih baik daripada harus menghilangkan ingatannya setiap kali ia mulai lepas kendali."

Noer kini menatap dokter itu. "Monsieur Deux Pelletier tidak ingin Mademoiselle merasakan sakit dan menurut data yang kutahu, tidak ada cara yang lebih baik dari ini. Lagipula kemunculan teknologi ini untuk membantu umat manusia menghilangkan traumanya."

"Dan kau tahu ini tidak bekerja dengan efektif. Teknologi ini masih dalam tahap perkembangan. Lihat Aletta! Trauma dan OLD-nya tidak hilang meski ingatannya sudah dihilangkan."

"Apa Monsieur yakin sudah benar-benar menghilangkan ingatannya secara permanen? Tadi pagi Mademoiselle menanyakan hal yang seharusnya tidak ia ingat."

Dokter Lambert terdiam sebentar. Ia terbata mengetahui hal yang selama ini ia takutkan menjadi kenyataan, "I-itu tidak mungkin."

Noer mengangguk. "Itu benar-benar terjadi--

Sebelum Noer menyelesaikan kalimatnya, seorang gadis kecil membuka lebar pintu kamar Aletta, menampakkan Aletta yang sudah duduk menyandar pada headboard. Gadis kecil itu menggerakkan tangannya, membentuk suatu bahasa isyarat.

'Mama sudah bangun. Papa tidak ingin melihatnya?'

Membaca gerakan tangan itu, Noer segera menggendongnya dan membawa gadis kecil itu masuk ke dalam kamar untuk menemui Aletta. Majikannya itu terlihat baik-baik saja, meski masih berkali-kali meminta maaf pada Miguel karena ia tidak melihat performa anaknya hingga akhir. Aletta tidak tahu Miguel sempat jatuh di atas panggung. Ingatannya tentang itu telah dihapus. Gadis itu hanya tahu bahwa ia pingsan di tengah peragaan anaknya.

"Minette dan Mortile juga, maafkan Mama yang tidak melihat kalian sampai akhir, ya?" Pandangan Aletta kini beralih pada si kembar keturunan Africana yang juga runaway bersama Miguel.

"Mama tidak perlu mengkhawatirkan soal itu, kami di sini malah mengkhawatirkan kesehatan Mama. Lain kali jangan terlalu memaksakan diri." Gadis pengidap vitiligo bernama Minette itu beranjak untuk memeluk Aletta sekali lagi. Sedangkan kembarannya, Mortile hanya bergeming di tempatnya duduk. Ia jadi teringat pada pertemuan pertamanya bersama Aletta.

Saat itu panti asuhan tempatnya tinggal sudah tidak lagi mendapatkan dana bantuan sehingga ibu asuhnya membuka adopsi. Satu per satu teman-temannya mendapatkan keluarga baru. Hari demi hari jumlah anak panti semakin berkurang hingga yang tersisa hanya mereka. Ibu panti menyarankan agar Mortile melepaskan kakaknya dan ikut bersama keluarga Africana yang hendak mengadopsinya. Namun tentu saja Mortile menolak saran itu. Ia tidak bisa meninggalkan kakaknya seorang diri. Mortile sudah bertekad untuk tidak berpisah dengan kakaknya apa pun yang terjadi.

Berkali-kali keluarga asing yang datang untuk mengadopsi Mortile menyerah begitu Mortile mengajukan syarat untuk mengadopsi kakaknya juga. Hingga ibu dan Minette memaksanya menyerah, namun Mortile tetap dalam pendiriannya hingga musim semi tepatnya 6 tahun lalu, seorang gadis berpakaian aneh dan pria usia lanjut datang ke panti asuhan. Saat itu Mortile masih ingat tindakannya yang langsung berlutut dan menangis, memohon mereka untuk mengadopsi kakaknya pula.

Pria berusia lanjut itu sampai tergelak lalu bertanya pada seorang gadis di sampingnya.

"Aku ke sini bermaksud untuk mengadopsi gadis vitiligo, tapi tidak menyangka kalau ia punya saudara kembar."

Jawaban dari gadis itu membuat Mortile malu setengah mati. Ia beringsut ingin pergi dari hadapan mereka, tapi urung karena mendengar tawa renyah dari sang gadis. Ia perlahan menengadahkan kepalanya, memandangi gadis itu lamat-lamat.

"Seperti mendapat jackpot saja." kekeh gadis itu seraya mengangkat Mortile yang masih berlutut untuk duduk di pangkuannya.

Pertama kali yang Mortile sadari adalah aroma gadis itu begitu harum dan berada di pangkuannya sangatlah hangat. Mortile dengan tangan gemetarnya memeluk gadis itu, menyandarkan kepalanya di dada gadis itu sesaat setelah mendengar bahwa mereka akan mengadopsi Minette sekaligus dirinya. 

Tentu saja usulan itu ditolak karena perbedaan umur mereka yang terlalu dekat. Orang tua adopsi harus setidaknya terpaut 15 tahun dari anak adopsi sedangkan Mortile dan gadis itu, yang tidak lain adalah Aletta hanya berjarak 8 tahun. Lalu Aletta memutuskan untuk membeli panti asuhan itu, memenuhi seluruh kebutuhan Mortile dan Minette serta menamai panti asuhan itu Fléureanc, nama yang sama dengan nama rumah modenya. 

Siapa yang menyangka dua tahun kemudian Aletta rutin mengadopsi anak-anak terbelakang lainnya hingga Fléureanc yang awalnya hanya panti asuhan biasa mendadak menjadi yayasan khusus anak-anak difabel. Saat itu Mortile berpikir Aletta adalah bentuk kebaikan dewa untuknya. Tanpa sadar ia membulatkan tekad untuk menyerahkan seluruh hidupnya pada gadis itu, hingga perkataan dari seseorang membuatnya tersadar.

"Mengapa kau berusaha sekeras itu untuk menjadi model? Menjadi model bukan impianmu, kan? Mengapa kau sekeras itu demi menyenangkan Mama? Apa karena kau takut jika menolaknya? Atau kau sadar bahwa kau anak yang terlampau biasa?"

Bagi mereka, Aletta adalah harapan. Ia tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup mereka tetapi juga memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu kandung serta berusaha untuk selalu menopang karir mereka, sesulit apa pun situasinya. Seperti Minette dan Miguel yang sangat ingin menjadi model dan sukses di umurnya yang baru menginjak 17 tahun, lalu ada Vience dan Edith yang sudah mahir memainkan harph dan piano di umurnya yang masih 10 tahun, padahal masing-masing mereka tidak bisa bicara dan penderita down syndrome.

Namun kalimat itu membuatnya sadar bahwa selama ini tidak ada satu anak pun yang menolak keinginan gadis itu. Mereka semua seakan berlomba-lomba menjadi kebanggaan Aletta. Sejak kapan? Sejak kapan mereka menjadi semacam anjing penurut demi memuaskan hasrat terpendam gadis itu? Jika saja waktu itu ia menolak tawaran Aletta menjadi model, apa yang terjadi padanya? Sontak jantung Mortile berdegup kencang, dadanya sesak seakan ada sesuatu yang menahan paru-parunya untuk bernapas. Ia ingat. Satu-satunya anak yang berani menolak permintaan Aletta. Tapi tetap saja, pada akhirnya itu tidak berakhir dengan baik, bukan?

Mungkin bagi yang sekilas mengenal Aletta akan berpikiran bahwa gadis itu luar biasa. Namun Mortile tahu ibu asuhnya memiliki banyak celah dan rahasia. Mengapa Aletta ingin mengadopsi Minette saat itu, mengapa Aletta mendirikan yayasan Fléureanc, dan mengapa Aletta suka sekali pada potongan dekonstruksi yang melambangkan ketidaksempurnaan. 

Baginya Aletta bukan orang yang mementingkan nama besar keluarganya atau melakukan sesuatu agar diakui orang lain. Mortile merasa ada obsesi tersendiri yang dimiliki gadis itu. Obsesi terhadap ketidaksempurnaan sesuatu dan ambisi untuk memperbaikinya. Entah yang lain sadar atau tidak, Mortile tidak tahu. Yang pasti ia sudah cukup dewasa untuk dapat membaca gelagat aneh Aletta setiap kali ia memandangi anak-anaknya. 

Pisces: Queen of Water Manipulation [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang