2

1 0 0
                                    


Nilan tak pernah membayangkan, bahwa dirinya akan membeli alat kehamilan pada usia 20 tahun. Bahkan, dia tak menyangka bakal kehilangan keperawanan. Adegan ini, dia berharap, harusnya terjadi bertahun-tahun dari sekarang—jika sudah memiliki karir yang stabil sebagai arsitek, atau menikah dengan bahagia. Namun, takdir memiliki selera humor yang buruk, menurutnya,  terkadang hal-hal tidak berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan.

"Kita mau ngapain?" tanya Nilan.

"Nilan!" Hasmi menyahut, lalu menghela napas, "satu pertanyaan lagi, saya bersumpah bakal ..."

Dia sudah kehabisan kesabaran. Mereka sudah berada di mal sekitar 30 menit; masih belum memasuki apotek, melainkan hanya tinggal di luar.

"Begini, Nilan. Stop mengulur-ulur waktu, oke? Kita harus tau secepat mungkin."

"Gue takut, Has."

"Cepat atau lambat, kamu juga bakal tau. Apa pun hasilnya, saya bakal selalu ada di samping kamu."

Nilan bergeser; menarik napas dalam-dalam. Baginya, Hasmi benar. Takpeduli berapa banyak penundaan, pada akhirnya, mereka tetap akan tahu. Jadi, Nilan juga berpikir bahwa lebih baik tahu sedini mungkin.

"Oke, kita beli," ucapnya.

"Gud Gerl," sahut Hasmi seraya menyeringai, lalu melingkarkan lengannya di tangan Nilan—membimbing ke apotek.

Ada banyak orang yang membeli di konter, jadi si Nilan gugup. Dia takut jika ada yang kenal, lalu melihatnya membeli alat tes kehamilan. Terlebih, jika universitas tahu, dia bakal diberhentikan dalam dua minggu.

"Tenang, biar saya yang urus," bisik Hasmi.

Mereka pun berbaris di konter, dan kini berada di urutan ketiga. Hasmi mengeluarkan ponsel, lalu tiba-tiba meletakkannya di telinga. Nilan menatapnya dengan penuh tanya, tidak tahu apa yang Hasmi rencanakan.

Nilan sekarang mengerti, apa yang Hasmi lakukan dengan pembicaraannya di telepon:

"Rani! Tenang dulu, okey? Ya, saya tau. Saya tau!"

Hasmi sengaja meninggikan suaranya sedikit, untuk menarik perhatian pelanggan lain dan kasir di konter.

Dia meletakkan tangannya di dahi, lalu mendesah secara dramatis.

"Nilan sama saya udah di apotek ni. Ya, kami beli tiga alat tes supaya bisa mastiin kamu hamil apa enggak. Kamu gak usah panik."

Nilan tercengang; Hasmi menoleh ke arahnya, lalu meletakkan ponsel kembali ke saku; mengedipkan mata ke Nilan, lalu dengan percaya diri menghadap kasir kemudian meminta tiga alat tes.

Nilan menghela napas lega.

"Untung ada Hasmi," pikirnya.

*

Kini mereka telah kembali ke asrama.

"Oke, ini dia. Ada petunjuk cara penggunaannya," Hasmi berkata sambil menyerahkan kantong berisi alat kepada Nilan.

Dengan tangan gemetar, Nilan mengambilnya.

"Kamu harus bisa, Nilan," ucap Hasmi.

Dia menepuk pundak Nilan, memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Nilan juga berharap hal yang sama.

Dia melenggang ke kamar mandi, lalu mengunci diri di dalamnya; membuka paket; menggigit bibir, lalu membaca petunjuk penggunaan.

Dia menatap bayangan diri di cermin, berpikir bahwa apa pun hasil dari ini, akan mengubah hidupnya. Meskipun ada pikiran lain, dia mengabaikannya.

Tiga batang sudah dicoba, tetapi hasilnya sama. Meski Nilan menyangkalnya, buktinya tetap muncul. Kini dia duduk di lantai ubin kamar mandi, sambil bersandar ke dinding; menekuk lutut kemudian memeluknya, sementara air mata mengalir.

Terjebak Cinta Ketua GangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang